Orang yang memindahkan gunung, memulainya dengan mengangkut batu-batu kecil. Pepatah dari negeri tirai bambu ini mengajarkan kita bahwa perubahan besar, selalu dimulai dari hal yang sederhana. Hal-hal kecil yang secara konsisten kita lakukan tiap hari, akan mengubah nasib besar kita ke depannya. Orang yang memperbaiki dirinya akan memperbaiki keluarganya, keluarga yang diperbaiki akan memperbaiki masyarakatnya dan masyarakat yang diperbaiki akan memperbaiki suatu negara. Setiap jalan perubahan selalu ditempuh dengan langkah pertama. Bertahap. Jengkal demi jengkal. Dan agaknya hal ini juga berlaku bagi Direktorat Jenderal Pajak.
Sebagai instansi penghimpun penerimaan pajak, Direktorat Jenderal Pajak dituntut untuk melakukan perubahan terus-menerus. Hal ini semata-mata dilakukan untuk sedapat mungkin mengikuti perkembangan zaman yang semakin maju. Tanpa perubahan, Direktorat Jenderal Pajak pasti akan tertinggal di belakang. Sedangkan dunia usaha terus berubah dan proses bisnis semakin berkembang. Maka dari itu, diperlukan banyak inovasi dan terobosan baru agar Direktorat Jenderal Pajak dapat mengikuti kemajuan zaman. Proses yang melahirkan inovasi dan terobosan baru adalah upaya bersama untuk melakukan perbaikan terusmenerus, sebagai wujud dari salah satu nilai Kementerian Keuangan yaitu 'Kesempurnaan'.
Melakukan perbaikan terusmenerus sebagai wujud perubahan adalah bagian dari kebijaksanaan. Socrates pernah berkata, "Aku adalah orang paling bijaksana" lanjutnya, "karena aku tahu bahwa aku tidak tahu." Puncak kebijaksanaan adalah ketidaktahuan. Dengan ketidaktahuan itu pula, kita akan senantiasa berusaha melakukan perbaikan karena kita tidak tahu apakah kita sudah sempurna atau belum. Dan dengan pengetahuan yang benar, orang tidak akan pernah mengaku sempurna. Karena semakin banyak ia tahu, semakin ia tahu bahwa masih banyak yang ia tidak tahu.
Pertanyaannya, siapa yang dapat melakukan perubahan di Direktorat Jenderal Pajak? Jawabannya adalah siapa saja. Baik itu level pelaksana atau pejabat. Baik itu cleaning service maupun pimpinan tinggi. Asalkan itu manusia, semuanya berperan. Dan tidak seharusnya peran tertentu merendahkan peran yang lain. Mengapa manusia? Karena perubahan, yang selama ini dituangkan dalam bentuk peraturan, kebijakan, dan budaya kerja, adalah produk dari manusia. Peraturan itu alat. Kebijakan itu tools. Budaya kerja itu sarana. Semua itu diproduksi oleh manusia. Maka sudah sewajarnya kalau yang pertama-tama berubah harus manusianya. Sebab, manusia yang baik akan menghasilkan produk yang baik pula. Begitu juga sebaliknya.
Jika ditarik garis besar, Kesempurnaan itu akan terwujud jika terdapat inovasi dan terobosan yang baik, tepat, efisien sebagai upaya perbaikan yang lahir dari perubahan manusia yang sama baiknya. Maka, bagi Direktorat Jenderal Pajak, kunci agar terlahir 'Pajak yang Bijak' adalah sumber daya manusia yang berkualitas.
Jujur Adalah Segalanya
Untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, integritas adalah harga mati. Integritas tidak hanya perkara sesuainya antara pikiran, ucapan dan perbuatan tetapi juga harus sesuai dengan kode etik dan prinsip-prinsip moral. Tidak dapat dikatakan seseorang yang berintegritas kalau ia berpikir akan mencuri, bicara: "Saya akan mencuri", dan benar-benar mencuri. Karena walaupun pikiran, ucapan dan perbuatannya sesuai, ia telah melanggar prinsip-prinsip moral. Secara sederhana prinsip-prinsip moral dapat dilihat sebagai apa yang benar, apa yang baik dan apa yang indah.
Membiasakan sifat jujur akan membuat pemilik sifat tersebut menjadi seseorang yang dapat dipercaya. Menjadi pegawai negeri, apalagi di Direktorat Jenderal Pajak, itu selalu berkaitan dengan urusan amanah. Amanah untuk melayani rakyat. Dan sebaik-baik pemegang amanah adalah orang yang dapat dipercaya.
Jika dengan penuh kesadaran kita menyadari bahwa yang kita pikul sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu adalah amanah, bukan anugerah seperti yang selama ini kita sangkakan, maka kita akan tulus dalam melayani rakyat. Ketakutan kita bahwa amanah itu cedera, akan membuat kita dalam memberikan pelayanan tidak berharap apa-apa. Niat kita dalam melayani akan penuh dengan ketulusan sebagaimana itu adalah sebuah kewajiban.
Selain itu, membiasakan sifat jujur juga akan menjaga martabat dan menghindarkan kita dari melakukan hal-hal tercela. Betapa sering kita jumpai perbuatan buruk yang berasal dari sebuah kebohongan dan pura-pura. Perbuatan buruk lahir dari kebohongan yang ditutupi dengan kebohongan lain yang lebih besar. Orang korupsi, umumnya berbohong bahwa ia adalah pelayan rakyat nyatanya bukan. Maka, hidupnya berpura-pura baik, padahal tidak.
Untuk melatih kita memiliki sifat utama ini, ada baiknya jika kita memulai segala hal dari yang paling akhir. Artinya, setiap orang harus mengerti apa yang menjadi tujuannya. Seseorang hanya akan belajar dengan sungguh-sungguh jika ia tahu bahwa dengannya ia akan mendapatkan ilmu. Itulah pentingnya sebuah tujuan. Tanpa tujuan kita bagaikan kapal yang terombang-ambing di lautan, berlayar tanpa arah. Tujuan tidak sampai, kembali pun tidak sampai. Dan sudah tentu tujuan terakhir hidup di dunia ini adalah mati. Masalahnya, di pemakaman kita nanti, kita menginginkan orang-orang mengenang kita sebagai apa? Sebagai seorang pegawai pajak yang jujur atau malah sebaliknya?
Mengasih Hati, Mengasah Pikiran
Sebagai pemegang amanah yang baik, kita akan dapat bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Itulah arti dari profesional. Menuntaskan pekerjaan dengan tidak menunda-nunda dan diiringi dengan prinsip kehati-hatian adalah sikap para profesional. Mereka akan memberikan yang terbaik karena memang untuk itu mereka dibayar.
Sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang berkerja secara profesional, sudah tentu kita harus mengerti prioritas. Meletakkan yang utama menjadi pekerjaan yang pertama harus diselesaikan adalah sebuah kewajiban. Hal ini bukan berarti mengesampingkan pekerjaan lain dan tidak mengerjakannya. Justru dengan membuat skala prioritas, kita akan lebih mengehargai pentingnya sebuah pekerjaan. Maka, susunlah prioritas pekerjaan kita dan jangan menunda-nunda.
Atas berbagai macam pekerjaan yang kita punyai seringkali kita harus mengambil keputusan. Proses mengambil keputusan secara cepat dan tepat ini kebanyakan ada di level pimpinan. Sebagai seorang pimpinan, sangat lazim jika mayoritas pekerjaannya adalah pengambilan keputusan. Seorang pimpinan yang bijaksana akan mengambil keputusan secara saksama dan mengakui bahwa segala akibat yang timbul dari keputusan tersebut secara penuh dan utuh adalah tanggung jawabnya. Sendirian. Tanpa menyalah-nyalahkan orang lain.
Semua itu hanya bisa terwujud jika pegawai Direktorat Jenderal Pajak memiliki keahlian dan pengetahuan yang luas. Berbeda dengan pengetahuan yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, keahlian hanya dapat diperolah melalui pengalaman. Pengetahuan itu urusan gampang. Tinggal bertanya, mempertanyakan, dan belajar. Lalu, setelah paham lakukan konfirmasi dan evaluasi, selesai. Tapi keahlian itu lain soal. Orang bisa puluhan tahun bekerja tanpa mendapatkan keahlian apa-apa. Secara jam terbang ia tinggi, tapi secara pengalaman ia rendah. Karena ia menjalani bekerja hanya sekadar bekerja. Dirinya sendiri tidak hadir dalam pekerjaannya. Pikirannya ke mana-mana, walaupun mungkin jika dilihat, ia seharian duduk di depan komputernya yang menyala.
Sekiranya itulah mengapa kita perlu bekerja dengan hati. Hati adalah tempatnya niat dan singgasana kelembutan. Bekerja dengan hati mengisyaratkan bahwa setiap perkerjaan itu harus diniati sebagai ibadah kepada Tuhan. Tidak boleh yang lain. Dengan niat yang benar, maka kita juga akan bekerja secara benar. Tidak menyeleweng dari peraturan perundang-undangan juga tidak semena-mena, terhadap Wajib Pajak maupun terhadap bawahan. Dengan bekerja dengan hati, kita akan melayani dengan hati pula. Dengan kelambutan. Karena tidak seluruh Wajib Pajak itu mengerti pajak. Dan jangan disalahpahami bahwa yang tidak mengerti itu tidak patuh. Justru masyarakat kecil, yang pengetahuannya tentang pajak itu minim adalah yang paling tidak berpotensi melakukan penyelewengan-penyelewengan, penipuan-penipuan dan manipulasi-manipulasi keuangan. Maka berlaku adillah. Hal ini akan membuat Wajib Pajak merasa nyaman dan bahagia. Dan sebaik-baik pelayan adalah yang membahagiakan tuannya.
Tak Tergapai Bila Sendirian
Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial, ia tidak akan kuat hidup sendirian. Sebagai makhluk sosial, manusia perlu berinteraksi dengan manusia lainnya. Manusia adalah makhluk yang berelasi, bekerjasama dan membangun peradaban. Dan sudah tentu, dalam membangun peradaban, manusia tidak mungkin sendirian. Ia perlu teman.
Perbedaan pikiran dalam interaksi antar manusia adalah hal yang niscaya. Maka hanya tersisa dua pilihan: bekerjasama atau bermusuhan. Dan seharusnya, manusia memilih hal yang pertama. Maka dari itu muncul diskusi, tukar pikiran dan musyawarah sebelum mengambil sebuah tindakan yang berdampak ke masyarakat. Meskipun berbeda-beda, pada dasarnya manusia memang diciptakan untuk saling mengenal, mengenal orang lain dan memperkenalkan diri, untuk selanjutnya bekerjasama alias bersinergi. Nilai ini sangatlah penting bagi Direktorat Jenderal Pajak. Tanpa bersinergi, tidak akan pernah terwujud apa yang dicita-citakan bersama. Yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memiliki sangka baik, saling percaya dan menghormati adalah awal terbentuknya sinergi yang baik. Dan jangan disalah artikan, prasangka baik, saling percaya dan menghormati itu tidak hanya sekadar berlaku untuk antar pegawai pajak, tetapi juga kepada Wajib Pajak. Ketiga hal tersebut akan melahirkan suatu relasi yang sehat antara otoritas perpajakan dan Wajib Pajak.
Apabila terdapat suatu permasalahan yang perlu diselesaikan, para pihak yang telah bersinergi akan berusaha menemukan solusi terbaik dan melaksanakannya. Dalam menemukan solusi tersebut, tentu ada berbagai macam pandangan yang bergesekan, berlainan bahkan bertentangan. Semuanya tidak masalah asal didasari oleh rasa rendah hati dan outputnya adalah kebaikan. Segala perdebatan, betapapun serunya itu, tidak akan banyak berguna jika tidak melahirkan kebaikan-kebaikan.
Rasa rendah hati untuk dapat menerima pendapat orang lain yang berlainan dengan pendapatnya sendiri seyogianya dimiliki oleh setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Cara paling mudah, walaupun seringkali sulit dilakukan, adalah mendengarkan. Dengarkan dahulu pendapat orang lain, cerna dan pahami. Setelah itu baru kita utarakan pendapat kita. Seringkali perkara mendengar ini memincu perselisihan karena kita tidak benar-benar mendengarkan. And they listen, but they do not hear, neither do they understand. Kita seringkali mendengar, tapi tidak menyimak apalagi mencoba mengerti. Seringkali kita mendengar untuk membalas, bukan untuk memahami. Jika kita tidak benar-benar mendengar pendapat lawan diskusi kita, berikut latar belakangnya, bagaimanakah kita akan mengerti?
Dalam bersinergi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Seseorang yang komunikasinya baik, akan berbicara dengan baik pula. Namun sebelum itu, mereka adalah seorang pendengar yang jauh lebih baik.
Kamu Hanyalah Seorang Manusia, Kamu Hanya Pelayan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), proaktif adalah tindakan yang lebih aktif. Artinya, proaktif merupakan sikap seseorang dalam bertanggung jawab atas segala keputusan dalam hidup. Kata ini mengandung arti, bahwa sebagai manusia, kita bertanggung jawab
atas hidup kita sendiri. Perilaku kita adalah hasil dari keputusan
kita, bukan kondisi kita. Jadi, ciri-ciri sikap proaktif lebih kepada
keaktifan individu dalam merespon segala hal yang terjadi di dalam
hidupnya.
Sikap proaktif merupakan antitesis dari sikap reaktif. Seorang reaktif melihat masalah dan mencari-cari kambing hitam mengapa masalah itu terjadi sedangkan seorang proaktif melihat masalah dan mencari solusinya. Terkadang seorang proaktif malah sudah menemukan solusi sebelum masalah timbul bahkan sering mencegah masalah itu terjadi.
Sebisa mungkin, setiap pegawai Direktorat Jenderal Pajak memiliki sikap proaktif dan cepat tanggap terhadap kebutuhan organisasi secara internal maupun kebutuhan masyarakat secara eksternal. Sikap proaktif mendorong setiap pegawai pajak untuk selalu berkontribusi nyata. Wujudnya bisa macam-macam. Ada yang berkontribusi melalui tindakan, pikiran, tulisan dan lain sebagainya. Tujuan akan lebih mudah dicapai ketika semua pegawai Direktorat Jenderal Pajak berpartisipasi aktif dalam memberikan pelayanan yang berujung pada kepuasan masyarakat.
Dalam memberikan pelayanan, seorang proaktif selalu mencari solusi terbaik. Setiap tindakan kita sebisa mungkin mencerminkan pemikiran
win-win solution, bukan
win-lose solution apalagi
lose-lose solution. Pada win-win solution, kedua belah pihak berada pada posisi yang
menguntungkan karena dalam diskusi diupayakan menciptakan suasana
yang memberikan kesan tidak ada pihak yang kalah dengan mengedepankan keuntungan yang terbaik secara jujur dan adil. Dengan cara ini, banyak hal yang bisa diraih, setidaknya ada 3 manfaat yang bisa diperoleh Direktorat Jenderal Pajak dengan cara ini yaitu:
a. Komunikasi strategi menjadi lebih mudah karena mempunyai tujuan bukan untuk mengalahkan lawan, melainkan untuk membantunya.
b. Keuntungan win-win solution akan menjadikan pemecahan masalah lebih mudah dan komunikasi selanjutnya akan lebih terbuka.
c. Hati yang gembira akan menjadi milik kita, juga lawan diskusi. Tidak ada
hal yang lebih berharga masalah yang dapat diselesaikan dengan kegembiraan.
Apabila kita belum dapat melakukannya, berusahalah! Jika kita sudah dapat melakukannya, tetaplah rendah hati. Sang kaisar terbaik bangsa Romawi, Marcus Aurelius, menggaji seorang pegawai yang hanya bertugas membisikkan kata, "Kamu hanyalah seorang manusia, kamu hanya pelayanan!" ke telinganya apabila ia dipuji-puji rakyatnya agar tidak terlena dengan ke-AKU-annya.
Menuju Yang Maha Sempurna
Nilai terakhir Kementerian Keuangan yaitu Kesempurnaan seharusnya diteladani oleh segenap pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Kesempurnaan di sini bermaksud bukan kita merasa telah sempurna, paling benar, dan paling baik, yang membuat kita menjadi eksklusif sehingga melahirkan sikap benar sendiri dan menyalahkan orang lain yang "bukan kita". Nilai kesempurnaan ini bermaksud untuk "menuju atau menjadi" bukan "merasa".
Hal ini dapat dilihat dalam perilaku utama dari nilai Kesempurnaan adalah melakukan perbaikan terusmenerus dan mengembangkan inovasi dan kreativitas. Upaya memperbaiki dan mengembangkan ini tentu tidak dilakukan oleh seseorang, instansi maupun institusi yang sudah baik dan berkembang. Upaya ini hanya dilakukan oleh kita yang menyadari bahwa kita ini belum baik, makanya yang belum baik itu kita perbaiki. Serta oleh kita yang tahu diri bahwa inovasi dan kreativitas kita ini tidak boleh berhenti, maka senantiasa kita kembangkan. Dimulai hari ini, dari diri sendiri.
Sudah saatnya juga kita, baik sebagai pegawai maupun institusi untuk mengakhiri eksklusivisme diri dan kembali merendah, melayani rakyat dengan cara sebenar-benarnya. Sebaik-baiknya. Untuk menghilangkan sikap merasa eksklusif itu, bisa dimulai dari memperbaiki pemaknaan kita terhadap istilah-istilah yang sering kita gunakan. Misalnya, "Mewujudkan Masyarakat yang Sadar dan Peduli Pajak" menjadi "Mewujudkan Pajak yang Sadar dan Peduli Masyarakat", "Bayar Pajaknya, Awasi Penggunaannya" menjadi "Bayar Pajaknya, Rasakan Manfaatnya", yang pada akhirnya bermuara pada "Orang Bijak, Taat Pajak" menjadi "Pajak Bijak, Orang Taat". Taat kepada setiap kebijakan yang bijaksana, bukan hanya peraturan yang cuma mengatur dan keputusan yang memutus belaka. Taat kepada ia yang sadar bahwa di dunia ini tidak ada satu pun kebijakan, peraturan dan keputusan yang sempurna. Maka dari itu, ia terusmenerus memperbaiki diri. Sebagai manusia, dan sebagai sebuah institusi.
Dan kiranya, setelah nilai intergritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan dan kesempurnaan yang telah dipaparkan di atas dapat mengubah kualitas kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi pengabdiannya kepada negeri. Dan kiranya pula, setelah semua usaha itu dilakukan, hanya kepada Tuhan yang Maha Sempurna sajalah kita meletakkan pengharapan.