Dia selalu punya satu. Puisi indah bernada ramah. Kekaguman terhadap alam. Sebuah puisi burung.
Dia bercerita. Tentang pagi dan mentari. Tentang nyanyian pengusir sepi. Keindahan warna. Kelincahan tingkah. Dan jendela.
Dia melihat. Burung burung bercengkerama diatas pohon. Dengan bahasa indah. Yang tak pernah dia mengerti.
Puisi dia nyaring. Seperti kicauan itu sendiri. Tidak sekedar bernada. Juga mengajak kita bersuka.
Puisi burung berisikan semangat. Berani hadapi waktu. Berhenti khawatirkan hari esok. Dimulai hari ini.
Biarpun begitu.
Aku lebih suka kepada gagak. Berkeliling mengintai malam. Terbang di atas rumah tua. Yang sebentar lagi. Penghuninya akan mati.
Kepakan sayapnya menandakan iba. Turut berduka cita. Sebab anaknya belum bisa pulang. Sibuk dengan pekerjaan.
Kadang gagak ikut bersedih. Melihat keadaan penghuni rumah. Maka suara gagak serak. Seperti tenggorokan. Setelah menangis pilu seminggu.
Gagak. Bulunya hitam tanda berduka. Gagak mengingat anak Adam yang saling membunuh beribu abad lalu. Dan beribu abad sesudahnya. Moyang Gagak mengubur yang telah tiada. Dikubur dalam dalam. Menjadi kenangan.
Sepuluh tahun berlalu. Lelah sudah gagak terbang. Dahan pohon menolak dihinggapi. Maka ia merendah mencari si penghuni rumah. Hinggap di batu nisan. Membuka obrolan dengan tangisan. Lebih lama dari seminggu. Hidup gagak dirundung rindu.