Hari ini. Untuk kesekian kali aku bangun di Jakarta. Masih dalam mimpi burukku. Kucari nafkah jalan kaki. Untuk makan. Nasiku besi tua, laukku sampah limbah. Memulung. Pekerjaan mulia. Halal bagiku. Membersihkan sisa dari keharaman manusia yang mengotori dunia.
Kujumpai Ia. Wanita yang diusir suami. Asli Jakarta. Menggelandang di rumah sendiri. Tiap malam menangis di emperan toko. Mungkin sedih karena banyak nyamuk diluar sini. Beritanya belum sampai ke koran dan televisi. Sampai ke aku saja. Tak kuteruskan. Nanti dilebih lebihkan.
Sampai sore tadi. Pandang kita bertemu. Dipisahkan jalan. Jalan terbesar di Jakarta. Manis juga rupanya ia. Pantas nyamuk suka. Maka aku seberangi jalan. Ingin Berkenalan. Manusia saling membenci hanya karena belum saling mengenal.
Namun jalan ini terlalu lebar buatku. Untuk menyeberang saja harus menunggu lampu. Lampunya nyala merah. Orang pada diam menunggu. Kenapa mereka diam. Apa sudah bosan bersuara. Atau mereka sedang berduka. Sebab hari itu banyak orang kehilangan telinga.
Tiba tiba sekilas kulihat ia berjalan dengan senyum. Tebal benar gincunya hari ini. Menutupi manisnya. Menutupi tangisnya. Ditunggu laki laki naik mobil mewah. Mercy. Melaju pergi. Cepat benar ia punya kekasih. Kukejar dengan lari. Biar sekali kali aku diakui memperjuangkan wanita. Melebihi yang naik mobil.
Jalan ini terlalu panjang buatku. Dan mobilnya terlalu kencang. Kuhentikan langkah dan berbalik. Sedih benar punya cinta kalau tak kaya. Aku melihat kota yang mengajariku demikian. Jakarta. Terlihat asing dan tertawa. Seolah tidak dari umur 8 tahun aku disana. Memulungi kotoran wajahnya.
Malam. Aku pulang. Menduga jadi apa ia sekarang. Sekedar untuk makan. Atau mungkin dia sudah dapat suami. Cepatnya. Beruntungnya.
Aku memilih tidur. Untuk meninggalkan mimpi burukku hari ini.