Dari pedalaman sini kupikirkan:
Siapa yang berulang tahun hari ini. Kutanya. Benar kalau dua puluh tiga tahun lalu aku lahir. Tahun kabisat. Saat kebetulan waktu sudah bisa dihitung. Maka tanggal lahirku bisa dicatat. Padahal tanggal hanya satuan. Hidup itu hanya mengulang kemarin.
Harus kemana aku.
Selain mengadu pada waktu yang tak pernah beranjak maju.
Namaku disebut. Tapi apakah ada orang yang benar benar bernama.
Nama hanya bikinan. Untuk memudahkan panggilan.
Memelankan teriakan.
Siapa yang sukses. Kutanya. Perjalananku belum genap selangkah. Nafas sudah terengah engah. Tersamar kata menyerah. Tujuanku belum mau merendah. Tinggi. Tiada terlihat mata sendiri.
Dari pusat kota ini kukatakan:
Bahagia benar punya kawan ribuan.
Yang mengingat tanggal kelahiran.
Diantara mereka saling sayang.
Tak melukai satu, tak melukai seribu.
Doa. Banyak diucapkan. Berisi harapan. Umur memanjang. Diberi kesehatan. Ditambah rejeki dan rasa bahagia. Kawanku banyak mintanya. Biar aku saja yang berterima kasih. Kepada tuhan.
Bahagia benar punya tuhan.
Yang merestui kelahiran.
Yang menciptakan rasa aman.
Agar tak dilukai satu, tak dilukai beribu.
Dari dunia yang kupentaskan. Ucapan selamat dan doa kupantaskan. Selamat haknya dia yang melahirkan. Doa milik dia yang membesarkan. Maka semuanya kuteruskan.
Kepada ibu. Selamat dan doa mereka untukmu.