Bipolar adalah sejenis penyakit,
tetapi adakah yang tidak bipolar? Setiap manusia memiliki dua kutub yang
ekstrim berlawanan. Yang paling primordial adalah kutub kebaikan dan kutub
kejahatan. Kecinderungan untuk berbuat baik akan selalu berlawanan dengan bisikan
untuk berbuat jahat. Hal seperti ini telah terjadi sejak zaman nenek moyang. Di
barat, hal yang sejak semula dipertentangkan dan tidak habis dibicarakan adalah
dikotomi good versus evil. Dikotomi itu juga yang mendasari hampir semua
cerita perfilman di sana sejak era film koboi sampai era film superhero seperti
seri Avengers.
Sedangkan di timur, hal tersebut
dipelajari sehingga melahirkan ilmu yang mempelajari tentang diri manusia
antara lain ilmu tentang nafsu berikut pembagiannya. Nafsu ammarah, supiyah,
lawwamah yang mewakili kejahatan sering disetarakan dengan anger, lust and
greed dan muthmainah yang mewakili kebaikan yang sering disamakan
dengan valor. Namun ada perbedaan besar sebenarnya.
Di dunia timur, nilai-nilai tersebut
diolah dan dikembangkan oleh para pujangga kerajaan hingga lahirlah sastra.
Diantara adalah Mahabharata yang bercerita tentang pertentangan antara pihak Pandawa
melawan pihak Kurawa sebagai personifikasi kebaikan melawan kejahatan. Meskipun
kita tahu, setelah diteliti lebih lanjut ternyata dalam purwacerita pewayangan
tersebut kebaikan dan kejahatan tidak hitam-putih seperti yang sebelumnya kita kira.
Ternyata masing-masing nafsu
tersebut bersifat netral. Menjadi baik ataupun jahat tidak bergantung pada
jenis nafsunya tetapi pada porsinya. Contohnya, dalam perspektif dunia timur, nafsu
ammarah dipahami sebagai nafsu berwarna merah yang terletak di dada manusia.
Nafsu ini mewakili unsur api yang memberikan nyala pada hidup manusia, membuat
manusia penuh dengan kemauan keras (passion) dan renjana (compassion).
Jika terlalu besar menyebabkan manusia menjadi sembrono, nekat dan pemarah.
Namun jika terlalu kecil akan menjadikan manusia dipenuhi rasa takut dan sifat
pengecut. Maka mutlak manusialah yang bertanggung jawab untuk mengatur besar
kecilnya nafsu tersebut.
Ada satu kisah yang saya sukai
untuk menjelaskan tentang hal ini. The Parable of Two Wolf, cerita yang
secara turun temurun diwariskan oleh suku Cherokee, suku asli benua Amerika
yang menempati wilayah pegunungan Carolina Selatan, Amerika Serikat.
Alkisah, seorang Cherokee tua sedang
mengajari cucunya tentang kehidupan. "Perkelahian sedang terjadi di dalam
diriku," katanya kepada cucunya. Ini adalah pertarungan yang sangat mengerikan
antara dua serigala. Yang satu bernama Si Jahat, dia adalah kemarahan, iri
hati, kesedihan, penyesalan, keserakahan, kesombongan, mengasihani diri
sendiri, rasa bersalah, kebencian, rendah diri, kebohongan, dan ego.
Dia melanjutkan, “Yang satunya adalah Si Baik,
dia adalah kegembiraan, kedamaian, cinta, harapan, ketenangan, kerendahan hati,
kebajikan, empati, kemurahan hati, kebenaran, kasih sayang, dan iman.”
Ia melanjutkan “Pertarungan yang
sama juga terjadi di dalam dirimu dan juga di dalam setiap orang lainnya.” Sang
cucu memikirkannya sejenak dan kemudian bertanya kepada kakeknya, "Lalu serigala
mana yang akan menang?"
Cherokee tua itu hanya menjawab,
"Yang paling banyak kamu beri makan."