Tidak lengkap rasanya membaca komunisme tanpa membolak balik tulisan Marx. Diantaranya mungkin salah, karena kapitalisme nyatanya masih bertahan sampai sekarang. Namun ada beberapa teori Marx yang masih relevan. Commodity Fetishism misalnya. Teori ini berangkat dari premis bahwa nilai suatu benda adalah sama dengan biaya pembuatannya. Namun, nilai ini rusak ketika benda tersebut menjadi komoditas dalam suatu transaksi jual beli. Nilai benda yang semula sebesar biaya pembuatannya berubah menjadi nilai komoditas yang tidak memiliki batas atas.
Contohnya: Sepatu yang dibuat dengan biaya 20 dolar, harusnya memiliki nilai benda sebesar 20 dolar. Namun pabrikan seperti Nike, dapat menjual sepatu bernilai benda 20 dolar itu dengan harga 800 dolar. Dan masyarakat menerimanya.
Tidak ada yang tau dari mana angka 800 dolar itu berasal. Ia abstrak. Ia menggantikan nilai 20 dolar yang ril. Menurut Marx ini keliru. Sesuatu yang abstrak harusnya tidak dapat menggantikan sesuatu yang nyata. Anehnya, masyarakat mengakuinya, mengimaninya, dan sebagian memujanya. Seperti sebuah fetis.
Karena itu, Marxisme masih layak untuk dikaji. Sebuah ideologi yang pernah mengguncang setengah dunia tidak dapat begitu saja diabaikan. Walaupun komunisme sering dianggap kalah di negara ini namun ide tentangnya masih diperdebatkan hingga kini. Kekalahan ide bisa jadi karena, pertama, —seperti yang umum dianggap di Indonesia— bahwa Marxsisme-Komunisme disangkut pautkan dengan ateis yang berdampak pada persepsi negatif atas ide tersebut. Sehingga dengan mudahnya kita menyebut bahwa Komunisme pasti salah. Atau kedua, orang-orang sudah lelah melakukan perlawanan.
Anggapan bahwa yang mayoritas —kasus di Indonesia adalah liberalisme— pasti benar karena anti thesisnya yang minoritas —komunisme— terlanjur dianggap salah merupakan anggapan orang-orang yang memiliki pikiran sempit. Hal itu juga berlaku sebaliknya andaikan komunisme yang menang dan liberalisme dianggap salah karena pengikutnya yang sedikit. Sebab yang banyak belum mesti benar. Kebenaran tidak dapat dihitung dengan tolok ukur berapa banyak pengikutnya. Di titik inilah tampak bahwa yang kita yakini sebagai "demokrasi" sekarang ini mempunyai kelemahan yang begitu kelihatan.
Roh dari Marxsisme adalah perlawanan kaum proletar untuk merebut kursi kekuasaan yang selama ini diduduki kaum borjuis melalui kapitalisme, dengan cara yang selanjutnya disebut sosialisme. Artinya keberpihakan Marx ada pada kaum proletar. Semua karyanya dari German Ideology, Communist Manifesto sampai empat jilid buku Kapital mengutuk kapitalisme kaum borjuis. Dalam buku-bukunya yang memang cenderung propagandis, kaum proletar diajak untuk mewujudkan demokrasi demi menjamin hak-hak hidupnya sendiri. Tapi tidak sekalipun dibahas tentang hitung-hitungan jumlah dari kaum proletar itu. Demokrasi diperjuangkan karena ada kebenaran —dalam hal ini hak-hak buruh— yang memang layak diperjuangkan. Bukan karena kaum buruh itu banyak. Andaikan di dunia ini cuma ada satu orang buruh, saya yakin Marx tetap menulis hal yang sama.
Dari sisi filsafat, sebagaimana yang didalami oleh Marx juga, ia memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Sejarah mencatat pada pertengahan abad ke-14, terjadi pemberontakan oleh 25 baron di kerajaan Inggris. Mereka menentang peraturan pemungutan pajak yang sewenang-wenang yang dilakukan oleh raja Inggris. Poin demokrasi di sini bukan jumlah mereka yang 25, tapi penentangan mereka atas aturan yang tidak adil.
Begitu juga yang terjadi di Prancis di akhir abad ke 18. Revolusi Prancis ditenggarai karena rakyat telah muak dibebani hutang oleh Raja Louis XVI. Hutang negara yang semakin membengkak ini menyebabkan Prancis menerapkan pemungutan pajak yang ambisius, rasio pajak yang besar, mahalnya bahan pangan, kelangkaan kebutuhan pokok yang berujung pada terpisahnya kepala Raja Prancis, Lous XVI dan istrinya Marie Antoinette dari tubuhnya. Cerita tentang tubuh-tubuh serakah itu berakhir di pisau Guillotine.
Marx melihat ini dengan cukup jelas. Perlawanan terhadap ketidakadilan atas nama demokrasi hampir dipastikan selalu berhasil.
Lalu sekarang, Revolusi Prancis yang agung dengan slogannya yang terkenal "Vox Populi Vox Dei" suara rakyat, suara tuhan disalahartikan menjadi suara mayoritas, suara tuhan, seiring dipersempitnya arti demokrasi menjadi pemilu. Padahal sejarah istilah itu pertama kali digunakan tahun 798 oleh penasihat Charlemagne yang bernama Alcuin dalam suratnya: Nec audiendi qui solent dicere, Vox populi, vox Dei, quum tumultuositas vulgi semper insaniae proxima sit. Yang artinya kurang lebih: Mereka yang terusmenerus berteriak bahwa suara rakyat adalah suara tuhan tidak sepatutnya didengarkan. Kebisingan suara mereka hampir-hampir menyerupai kegilaan.
Kalimat itu jelas menentang "demokrasi" mayoritas yang kita anut sekarang.
Lagipula arti vox itu sendiri mendekati voc, vocal atau suara vokal dalam nyanyian. Romantisme menggiring saya untuk mengartikannya sebagai senandung rakyat adalah nyanyian tuhan. Dan saya tidak pernah sekalipun berpikir bahwa senandung rakyat, nyanyian sakral itu dapat ditempatkan di sebuah kotak dan dihitung.
Namun, sekarang ini demokrasi dimaknai lain. Suara mayoritas diartikan sebagai kebenaran tunggal. Final. Dan suara itu dibungkam oleh demokrasi palsu yang mengganti gelora hati rakyat dengan sebatas angka-angka: voting.
Dengan demokrasi impostor model inilah kapitalisme menancapkan kukunya kembali lewat legalitas undang-undang. Karena undang-undang dianggap dibuat mewakili kepentingan rakyat. Maka neo-kolonialisme yang dilakukan oleh para kapitalis modern menjadi sah, berulang dan langgeng.
Tidak mengherankan kalau Winston Churchill pernah mengatakan bahwa demokrasi macam ini ibarat dua ekor serigala dan satu ekor domba yang melakukan voting mengenai apa menu untuk makan malam.
Marx mencoba melawan, gagal. Tetapi belum mati. Pemikirannya dikaji sepanjang masa. Walaupun seringkali pemikiran murni itu disalahgunakan juga untuk kepentingan kekuasaan seperti jaman Lenin dan Stalin yang berambisi mendirikan negara komunis. Menurut saya sangatlah lucu apabila Lenin maupun Stalin ingin mendirikan sebuah negara komunis. Padahal kalau kita lebih berhati-hati dalam membaca karya Marx, dalam Communist Manifesto misalnya, Marx menulis: "Ketika komunis berkuasa, maka tidak ada lagi negara".