Dalam suatu wawancara, Gus Dur pernah ditanya oleh seorang wartawan, "Menurut Gus, bagaimanakah demokrasi yang ada di Indonesia?" Beliau menjawab dengan sebuah perumpamaan yang bernada satire, "Demokrasi di Indonesia ini ibarat kereta api Jakarta - Surabaya" beliau melanjutkan, "Tetapi keretanya baru sampai Bekasi!" Jawaban beliau tersebut menarik untuk kita renungkan. Sejak Gus Dur melontarkan kalimat menohok tersebut, sejauh apa kereta demokrasi kita telah bergerak?
Kiblat Demokrasi Indonesia
Sebelum menilai arah gerak demokrasi kita, alangkah baiknya kita mengenal terlebih dahulu model demokrasi apa yang kita anut. Demokrasi Liberal yang mengedepankan kebebasan individual sebebas-bebasnya ala barat? Ataukah Demokrasi Sosial yang mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan individu—yang mau tidak mau membatasi kebebasan individu tersebut—ala timur?
Jangan berpikir kalau di dalam musyawarah sama sekali tidak ada pergesekan, perdebatan dan perbedaan pendapat. Hal-hal semacam itu adalah sebuah niscaya yang pasti ada. Namun, founding fathers kita menyikapinya dengan cara dewasa. Mereka tahu betul bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Mereka berbantah bantahan di dalam argumen, bukan mengedepankan sentimen. Contoh yang semua orang tahu, Hatta tidak setuju dengan demokrasi terpimpin ala Soekarno padahal waktu itu ia adalah wakil presiden. Apa yang ia lakukan? Ia tulis sebuah buku. Di dalamnya ada esai panjang berisi argumentasi tentang demokrasi seharusnya lengkap dengan logika yang runtut dan tata bahasa yang mudah dipahami. Ia beri judul bukunya Demokrasi Kita, yang seolah mengisyaratkan bahwa demokrasi adalah milik kita bersama yang tidak dapat diatur arahnya oleh satu orang seperti demokrasi terpimpin.
Begitu juga dalam bidang lain, pendidikan misalnya. Ki Hajar Dewantara dan Sutan Takdir Alisjahbana memiliki pendapat yang 180 derajat berseberangan, mereka saling melakukan kritik terhadap visi pendidikan mereka masing-masing. Takdir mengkritik dengan keras pandangan yang lebih mengedepankan pendidikan ala timur sedangkan Ki Hajar mempertahankannya. Namun tidak ada sentimen di tulisan-tulisan Takdir yang dimuat di koran Poedjangga Baroe. Balasan dari Ki Hajar pun sangat moderat. Bahkan di awal bantahannya, tulisan Ki Hajar memuji kebesaran intelektualitas Takdir.
Musyawarah adalah roh demokrasi Indonesia, juga sekaligus roh demokrasi dalam Islam. Dan Islam lahir di Timur, bukan di Barat.
Musyawarah memungkinkan kita untuk membuka jalan tengah yang tidak mungkin dibuka dengan voting. Dalam voting, hasil sudah ditentukan terlebih dahulu, A atau B. Tidak bisa selain itu. Musyawarah lain cerita, ia melahirkan potensi penyelesaian masalah dengan spektrum yang lebih luas. Bisa A, B, a, b, Ab, aB, bahkan C dst. Justru terbukanya spektrum yang luas inilah yang mencerminkan adanya demokrasi. Demokrasi yang benar-benar demokrasi seperti makna etimologinya, demos: rakyat dan kratos: kekuatan. Jika dimaknai sederhana demokrasi adalah daulat rakyat. Demokrasi kita adalah daulat rakyat melalui musyawarah. Artinya, segala putusan terkait A dan B tadi, dengan spektrum yang lebih luas diputuskan oleh rakyat sendiri. Namun karena spektrumnya tak berhingga, tidak mungkin rakyat ditanyai pendapatnya satu per satu. Tentu hal ini akan memakan banyak waktu dan tenaga. Maka dari itu rakyat yang banyak menunjuk para wakil rakyat yang sedikit. Kita mengenalnya dengan istilah demokrasi perwakilan.
Demokrasi perwakilan menghendaki pemangkasan jumlah pihak yang memutuskan alih-alih memangkas opsi putusannya. Karena sejak awal yang jadi masalah adalah banyaknya jumlah pengambil keputusannya, bukan banyaknya pilihan putusan. Karena begitulah demokrasi seharusnya. Sepuluh orang yang mewakili sepuluh juta orang yang mendiskusikan, bersidang, rapat, dan bersepakat melahirkan satu pilihan lebih baik daripada sepuluh juta orang yang diberikan dua atau tiga pilihan dan harus memilih langsung. Mengapa demikian? Karena pilihan yang merupakan hasil musyawarah mencerminkan bahwa pilihan itu lahir dari demokrasi. Sedangkan pilihan yang ditawarkan, misal A atau B, kepada 10 juta orang untuk dipilih langsung dan dihitung mana yang lebih banyak suaranya mencerminkan adanya demokrasi semu.
Demokrasi Semu
Demokrasi semu adalah kondisi di mana masyarakat ditawari sebuah pilihan yang seolah olah demokratis untuk memilih satu dari banyak pilihan. Seperti pemilu langsung. Mengapa itu salah? Karena ketika masyarakat "ditawari", hal ini mengindikasikan adanya pihak—yang jelas bukan masyarakat itu sendiri karena masyarakat sudah berada di pihak yang ditawari—yang menawarkan. Adanya pihak yang menawarkan pilihan ini mengindikasikan bahwa demokrasi tidak berjalan. Karena seharusnya masyarakat sendirilah yang melahirkan pilihan-pilihan, dan yang menentukan pilihan mana yang akan diambil. Bukan pihak lain di luar masyarakat tersebut.
Dalam demokrasi selalu ada dua pihak, masyarakat dan pemerintah. Demokrasi semu adalah produk utama dari kemerosotan demokrasi menuju arah tirani. Perlu diketahui bahwa demokrasi dapat merosot menjadi dua kemungkinan. Pertama, jika merosotnya demokrasi disebabkan oleh buruknya masyarakat maka akan menimbulkan negara anarki. Negara yang tanpa hukum karena masyarakatnya tidak lagi menaati hukum yang berlaku. Bahkan menganggap hukum itu tidak ada. Biasanya people power disini mewujudkan diri dalam bentuk tindakan yang menyimpang dari norma hukum misalnya penjarahan, pemberontakan dan kerusuhan. Kedua, jika merosotnya demokrasi disebabkan karena kesewenang-wenangan pemerintah maka akan melahirkan negara tirani. Dalam negara tirani yang mengatasnamakan demokrasi, people power semata mata hanya digunakan untuk melegitimasi kekuasaan. Diluar masa transisi kekuasaan—biasanya dilakukan lima tahunan—suara rakyat praksis tidak dibutuhkan lagi.
Demokrasi semu melahirkan sebuah alegori yang menyedihkan bagaikan seorang pencuri yang bertanya, "Anda ingin dirampok oleh siapa? si A ataukah si B?" dan anda harus memilih. Menyedihkannya, walaupun anda tidak memilih, sistem demokrasi semu telah menjamin-pastikan ada yang terpilih. Salah satu di antara keduanya.
Mengapa demokrasi semu berani memberikan jaminan tersebut? Karena sistem pemilihan lain yang seharusnya dilakukan oleh permusyawarahan rakyat dibuat impoten. Caranya adalah menghilangkan fungsi perwakilan rakyat yang pada hakekatnya secara merdeka dapat memilih dan menentukan keputusan apa yang akan diambil. Di Indonesia, hal ini terjadi dalam pemilihan presiden. Sebelum amendemen keempat UUD 1945, presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR. Waktu itu MPR terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (unsur perwakilan partai politik), utusan daerah (unsur perwakilan dari daerah/provinsi/kota, semacam senator) dan utusan golongan (unsur perwakilan profesi). Harapannya dengan memasukkan unsur-unsur tersebut semua sektor masyarakat dapat terwakili.
Namun setelah amendemen keempat, fungsi MPR sebagai pengambil keputusan ini menjadi impoten. DPR seolah dipisahkan dengan MPR, utusan daerah dan utussan golongan dilebur menjadi DPD yang dalam urusan legislasi dapat dikatakan tidak ada fungsinya. Dan MPR sebagai pengejawantahan daulat rakyat yang sekaligus merupakan cerminan adanya musyawarah rakyat ini diturunkan posisinya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, setara dengan presiden, pihak yang diawasinya. Maka secara struktur, yang terjadi adalah kinerja presiden tidak dapat lagi diawasi, tidak dapat diperingati dan tidak dapat dievaluasi. Kondisi ini diperparah dengan dihapuskannya DPA/Dewan Pertimbangan Agung. Artinya negara ini ibarat sebuah kerajaan yang tindak tanduk rajanya tidak diawasi dan tanpa penasihat. Lalu bagaimana dengan Watimpres/Dewan Pertimbangan Presiden? Bukankah Watimpres itu menggantikan fungsi DPA? Saya akan jawab dengan yakin, Watimpres juga merupakan dewan pertimbangan semu. Mengapa demikian? Sebab, berbeda dengan DPA yang setara presiden di bawah MPR, Watimpres adalah lembaga negara di bawah presiden. Sampai sekarang, saya belum pernah menemukan ada seorang budak yang berani menasehati tuannya.
Demokrasi Indonesia Sekarang
Dengan melihat kenyataan bahwa lembaga yang paling dapat mewakili demokrasi sebenarnya—yaitu MPR yang menomorsatukan musyawarah di atas voting—telah diturunkan marwahnya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara setingkat presiden, saya berkesimpulan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami banyak kemunduran.
Dengan kenyataan bahwa pesta demokrasi yang disebut pemilu itu terdiri dari calon-calon yang hanya mewakili partai politik, satu fondasi dengan DPR, tanpa adanya unsur-unsur daerah dan profesi yang terwakili. Jika kita lihat rakyat mau tidak mau harus menerima putusan antara A atau B meskipun dalam pemilu tidak memilih salah satu di antara keduanya, bahkan tidak dilibatkan dalam debat calon presiden selain menjadi penonton, tidak diajak musyawarah mengenai mengapa harus A yang jadi calon presiden mengapa bukan D, E, F dst, maka saya menyimpulkan bahwa ini bukanlah demokrasi. Semua yang terjadi sekarang hanyalah demokrasi semu, sebuah tabir untuk menutupi muka sebuah tirani.
"Demokrasi di Indonesia ini ibarat kereta api Jakarta - Surabaya, tetapi keretanya baru sampai Bekasi!" Sejak Gus Dur melontarkan kalimat menohok tersebut, sejauh apa kereta demokrasi kita telah bergerak? Andaikan Gus Dur bertanya begitu kepada saya, uraian dalam esai sederhana ini seakan-akan menjawab, "Keretanya jalan ke Banten, Gus".