Di zaman Revolusi Industri 4.0 sekarang ini, angkringan samasekali tidak kehilangan pesonanya sebagai tempat singgah. Warung sederhana dari Klaten itu seakan menentang arus waktu. Bagaikan pemuda tegap yang berkata bahwa ia sekarang sama jayanya, sama kokohnya dengan ia yang berdiri 70 tahun lalu. Atau sebenarnya kita yang tak berubah selama 70 tahun itu.
Kita masih merasakan kesederhanaan yang sama, kebutuhan akan makanan murah yang sama, dan mungkin kerinduan yang sama. Angkringan menyimpan perasaan itu dalam ingatan kolektif orang Jawa Tengah yang merindukan kampung halaman, tapi tak bisa pulang. Entah karena pekerjaan atau karena tidak ada uang. Yang jelas, di angkringanlah kita kembali menemukan diri kita. Bahwa kita ini masih manusia. Yang butuh makan, yang rindu pulang.
Penjual angkringan juga sama. Mereka manusia yang punya keinginan-keinginan. Terkadang di sela-sela memasak, sambil menggoreng mendoan, mereka ceritakan keluarga mereka di Jawa. Mereka rindu juga agaknya. Penjual dan pembeli angkringan sama-sama mengobati kerinduan mereka itu dengan sebuah obrolan yang hangat.
Obrolan di angkringan bisa bermacam-macam topiknya. Dari masalah bola, sosial, politik, agama bahkan berita-berita mancanegara. Konflik Rusia-Ukraina misalnya. Diiringi sayup acak lagu-lagu Bon Jovi sampai Campursari, ada percakapan sehat yang lahir di sana. Orang-orang berkata tanpa ada maksud apa-apa. Mereka hanya katakan apa yang kepalanya tahu, yang hatinya yakini. Sudah. Tidak ada debat. Juga permusuhan. Sebab, mereka bukan siapa-siapa. Di angkringan, mereka anonim. Seorang jenderal bintang tiga tidak keberatan dipanggil 'Bro'. Di angkringan, hakim-hakim tidak harus disebut 'Yang Mulia'.
Angkringan juga bisa sejenak menurunkan tabir pembatas antara laki-laki dan perempuan. Di hadapan mendoan, nasi kucing dan sundukan, semua manusia setara. Untuk sementara batas-batas pemisah gender itu ditiadakan.
Juga hanya di angkringanlah jurang pemisah antara generasi muda dan generasi tua dapat dijembatani bersama. Orang tua yang selalu merasa benar terkadang mengalah. Di sisi lain, anak muda yang arogan belajar rasa hormat. Angkringan dapat dikatakan adalah cerminan masyarakat idealnya Plato. Imagined Community bagi Benedict Anderson.
Di Singapura, untuk menghadapi gempuran pesatnya perkembangan openAI, dari ChatGPT, Midjourney 5.0 dan sekarang yang terakhir Sora, sampai menganggarkan beasiswa gratis bagi warga negaranya yang berumur 45 tahun lebih agar tidak ketinggalan teknologi. Senior citizen itu diharapkan mampu bergaul dengan anak-anak muda di kampus untuk menimba ilmu IT dan berbagi pengalaman. Kabarnya Singapura juga akan membentuk suatu kementerian baru: Ministry of Artificial Intelegence. Kementerian Kecerdasan Buatan.
Frasa 'diharapkan mampu bergaul dengan anak-anak muda' menunjukkan bahwa negara semaju Singapura pun mengalami masalah yang sama yaitu adanya jurang pemisah antar generasi. Mereka sampai merogoh kantong APBN untuk subsidi pendidikan hanya agar orang tua mau bergaul dengan anak muda. Sedangkan di kita, selama 70 tahun angkringan telah menyediakannya.
Jürgen Habermas dalam salah satu tesisnya, The Structural Transformation of the Public Sphere (1962), menyampaikan bahwa negara yang sehat dimulai dari adanya public sphere, ruang publik yang sehat. Di mana dalam ruang itu masyarakat, tanpa memandang jenis kelamin maupun strata sosial, dapat menyampaikan segala uneg-uneg tentang masalah yang terjadi di lingkungannya sedemokratis mungkin. Tesis itu mengambil contoh salon dan kedai kopi di abad ke-18.
Di Indonesia, fungsi salon dan kedai kopi sebagai ruang publik digantikan oleh angkringan. Angkringan ada untuk laki-laki dan perempuan dari segala usia. Dari mana pun, dengan kelas sosial apa pun. Tentu sulit kita bayangkan ada bapak-bapak yang ngobrol masalah bola di salon atau anak kecil yang nongkrong di kedai kopi sebagaimana contoh dari Habermas. Tapi di angkringan, keduanya mungkin.
Pertanyaan yang menarik adalah, jika angkringan adalah public sphere yang sehat, mengapa Indonesia masih menjadi negara yang sakit-sakitan?
Saya kira sederhana saja. Percakapan yang sehat di angkringan terbentuk karena ada mendoan, nasi kucing, dan sundukan. Orang bisa ngobrol dengan pikiran terbuka dan hati yang gembira kalau urusan perut sudah beres. Di angkringan orang-orang cukup makan. Demokrasi di angkringan dapat berjalan karena di bawah tenda yang sederhana itu, tidak ada orang lapar.