Kita hidup di zaman ketika pustaka diarti-sempitkan sebagai buku. Dalam sejarahnya, kata 'pustaka' berasal dari bahasa Sanskreta dari India. Namun, sebenarnya pustaka bukanlah kata asli tanah Hindustan. Ia merupakan kata serapan dari Aksara Paku di Persia Kuno—sekarang Iran, dari kata 'posta' yang berarti kulit rusa. Pada masa itu, orang-orang India belajar tentang dasar-dasar penulisan aksara dari Persia Kuno dengan cara ditulis di atas kulit rusa yang telah disamak. Kita tahu bahwa Persia Kuno adalah tempat lahirnya aksara.
Sedangkan, jika ditilik dari sejarah Indonesia, kata 'pustaka' dipakai dalam beberapa istilah lokal. Pustaha di tanah Batak, misalnya. Di Batak, 'pustaha' dalam bahasa Batak Utara atau laklak dalam bahasa Simalungun berhubungan erat dengan ilmu pengetahuan yang diwariskan oleh para datu. Pustaha Batak merupakan naskah yang berisi tentang asal-usul suatu marga, cara menyambung hidup dan cara meramal.
Lain lagi di Jawa. Di lingkungan keraton Surakarta kita mengenal dua istilah yang memakai kata 'pustaka': Reksa Pustaka dan Radya Pustaka. Reksa Pustaka adalah perpustakaan keraton sedangkan Radya Pustaka bersinonim dengan museum dimana tidak hanya buku, melainkan benda-benda keraton seperti arca, pusaka dan wayang kulit disimpan.
Terakhir, Balai Pustaka. Instansi bikinan Belanda akibat dari politik etis ini aslinya bernama Kantoor van de Volklectuur, kantor urusan bacaan rakyat. Instansi ini didirikan dengan maksud dan tujuan untuk 'mendidik' rakyat jajahan sesuai kepentingan Belanda. Bukan sebuah kebetulan bahwa politik etis diterapkan dan instansi ini dibentuk setelah kecamuk Perang Jawa berakhir.
Sedangkan pusaka berarti sebuah warisan atau harta benda peninggalan leluhur yang menjadi pegangan kita bersama. Ia ibarat sebuah batu bertuah. Bagi orang mungkin tak ada harganya, tetapi bagi kita benda seperti itu menyimpan memori, juga kenangan, yang teramat berharga.
Pusaka itu bagaikan sebuah keris yang terselip di pinggang. Dan kita sering keliru dalam memaknai keris. Ia bukanlah senjata. Ia adalah pusaka. Dalam khazanah keraton pedang itu senjata, tombak juga senjata. Tapi keris tidak. Senjata ada untuk melawan sedangkan keris ada untuk bertahan. Keris dibuat utamanya adalah untuk menunjukkan pamor: kewibawaan dan kehormatan. Keduanya adalah pertahanan terbaik di masa itu. Juga masa kini. Sebab wibawa dan rasa hormat dapat menghentikan pertumpahan darah bahkan sebelum perang dimulai.
Saat ini kepustakaan yang berkaitan dengan pengetahuan dan kebijaksanaan di masa silam seringkali dipandang sebelah mata. Ia disingkirkan dari pergaulan dunia yang fokusnya hanya pada ekonomi dan teknologi. Ia dianggap sebagai barang kuno yang hanya diperlukan untuk mengisi museum-museum peradaban kita. Lihatlah minat baca negara ini. Wilayah yang dulu pernah maju karena kemajuan sastranya, kini menempati urutan pertama negara dengan minat baca terendah di Asia. Terendah nomer dua di dunia menurut data UNESCO.
Padahal kita dulu adalah bangsa pengekspor sastra. Menjadi pengarangnya, bukan sekadar pembaca. Bangsa kita pernah tinggi peradabannya karena dihuni oleh penulis-penulis. Sedangkan sekarang tingkat literasi kita sangatlah rendah, sekadar membaca saja kita tidak mau. UNESCO memberikan poin 0,001. Artinya, dari 1000 penduduk, hanya ada 1 orang saja yang membaca buku.
Kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini nampaknya juga jarang sekali memperhatikan keislaman kita sendiri. Coba sesekali lihatlah sejarah para khalifah dalam Tarikhul Khulafa karya Imam Suyuthi. Disana akan kita temukan bahwa kunci kesuksesan Dinasti Abbasyah sehingga dijuluki The Islamic Golden Age—zaman keemasan Islam, adalah sebuah bangunan yang bernama Baitul Hikmah.
Baitul Hikmah, atau rumah kebijaksanaan adalah perpustakaan terbesar di Baghdad yang menjadi pusat seluruh kegiatan keilmuan yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid. Tempat itu tidak hanya digunakan sebagai tempat mengarsipkan buku, tetapi juga tempat studi, pusat penerjemahan karya asing, balai pendidikan dan tempat diselenggarakannya halaqah-halaqah keilmuan.
Baitul Hikmah adalah lambang kecintaan seorang pemimpin terhadap ilmu. Jika dikonversi dengan kurs sekarang, gaji guru di masa Harun al-Rasyid setara dengan 9.3 milyar rupiah setahun, dan dua kali lipatnya jika guru-guru tersebut merupakan ahli Hadist dan Fiqh. Dalam beberapa riwayat, sang Khalifah diceritakan menyuguhkan sendiri teh untuk al-Kisa'i, guru ngaji kedua putranya. Tidak ada satupun dalam riwayat tersebut Harun al-Rasyid memanggil ulama ke istana. Ia yang selalu mendatangi mereka. Bahkan ia bahagia bukan main saat mengetahui anak-anaknya, sang putra mahkota, berebutan untuk menyiapkan sandal al-Kisa'i. Sebegitunya Harun al-Rasyid memuliakan ahli ilmu. Maka pantaslah julukan al-Rasyid itu disandangnya, melekat pada nama beliau. Al-Rasyid berarti ia yang cerdik-pandai.
Sebaliknya, merosotnya peradaban Islam juga ditandai dengan dibakarnya Baitul Hikmah pada tahun 1258 dalam serbuan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu Genghis Khan yang terkenal bengis itu. Bangunan bersejarah itu dihancurkan, diratakan dengan tanah. Penguasa terakhir Dinasti Abbasyah, Khalifah Al-Mu'tashim dibunuh dengan cara dibungkus karpet dan diinjak-injak pasukan berkuda. Buku-buku dibuang ke Sungai Tigris hingga warna air sungai itu berubah menjadi hitam karena kelunturan tinta. Semenjak itu umat islam seolah kehilangan pegangannya atas ilmu pengetahuan yang pernah dikuasainya. Sehingga untuk menutup celah keilmuan yang hilang itu muncul gerakan 'Kembali ke Quran dan Hadist' yang terkesan menjadi shortcut karena umat telah kehilangan landasan berpikir dan pondasi keilmuan. Maka, sejak saat itu ilmu dan iman kembali dipertentangkan. Jejak keilmuan Islam dimulai dari nol (lagi). Setelah kejatuhannya, umat benar-benar menapaki ilmu pengetahuan dari tangga terbawah.
Dan agaknya hal itu berlangsung sampai sekarang. Perhatian terhadap keilmuan di negara ini masih jauh dari harapan. Seluruh kegiatan negara yang berfokus pada bidang ekonomi selalu saja menganaktirikan bidang pendidikan dan keilmuan. Pasar-pasar lebih banyak dari perpustakaan. Hal ini menunjukkan bahwa setelah 78 tahun merdeka, negara ini masih saja berkutat dengan urusan pemenuhan kebutuhan pokok. Pemberian subsidi untuk urusan perut dilakukan dengan pengebirian anggaran untuk keperluan otak.
Maka hemat saya, mari jadikan kembali pustaka sebagai pusaka kita. Di tengah gempuran informasi dari media sosial, kita nyaris tanpa pertahanan. Membaca dan menulis merupakan dua pusaka untuk bertahan dari gempuran tersebut. Juga untuk memprakarsai kembali zaman keemasan Islam yang gilang gemilang itu atau setidaknya untuk 'Golden Age' dalam kehidupan kita sendiri. Paling tidak, dengan membaca lebih dalam, tidak asal comment dan share, meneliti kebenaran informasi sebelum disebarluaskan, kita menjadi tidak reaktif. Pelajari dulu baru tuliskan.
Dengan menulis kita 'dipaksa' untuk tahu hal-hal baru melalui membaca. Menulis adalah akibat dari membaca. Seorang penulis yang baik tentu adalah seorang pembaca yang baik pula. Karena menulis itu ibarat sebuah kendaraan dan membaca adalah bahan bakarnya. Selain itu, dengan banyak membaca buku, alam, kondisi sosial, juga diri kita sendiri kita akan menemukan banyak hal yang sebelumnya tidak kita ketahui.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.Al-Alaq: 3-5)
Dengan memperluas pengetahuan dan mempertajam pandangan kita terhadap suatu hal melalui banyak-banyak membaca, kita dapat melihat dunia dari berbagai macam perspektif. Dengan kepustakaan yang cukup, kita akan memiliki pusaka yang menginsafi kebodohan kita bahwa yang membuat pelangi indah itu adalah ia tidak sebatas warna hitam dan warna putih.