Diskripsi Blog

...mintalah bantuan kepada tangan kananmu. Dan lelaki itu membuat tulisan dengan tangannya.

Ribajudi

 


Dalam tokoh pewayangan, tidak ada penjudi senekat, sesial dan segagal Yudhistira. Yudhistira adalah simbol dharma, kebajikan. Gelarnya adalah Dharmaputra, putra dari kebajikan itu sendiri. Tidak aneh memang kalau ia yang merupakan personifikasi dharma kalah dalam sebuah permainan yang adharma, tanpa dharma. Sebab tidak ada kebajikan apapun di dalam judi. Tapi entah apa yang ada di pikiran putra Pandu tersebut, sampai-sampai ia terus melanjutkan permainan itu dan berujung kalah telak dalam delapan ronde. Berturut-turut.

Hari masih pagi ketika utusan Duryudana datang ke Indraprasta untuk mengantarkan undangan bermain dadu. Mengingat pada masa itu menolak undangan adalah perbuatan tercela bagi kaum ksatria, Yudhistira menerimanya. Ia datang ke Hastinapura ditemani Drupadi, istrinya dan keempat saudaranya untuk memenuhi undangan. Di atas meja judi yang telah disiapkan oleh Sengkuni, nasib mereka diundi. Sengkuni mewakili Duryudana untuk melawan Yudhistira.

Ronde pertama dimulai dengan beberapa taruhan kecil seperti gelang, kalung, sejumlah prajurit dan akhirnya ditutup dengan kekalahan Yudhistira setelah kehilangan kerajaannya, Indraprasta.

Selanjutnya Yudhistira makin nekat, tiap ronde ia ajukan satu orang saudaranya untuk dijadikan taruhan. Dimulai dari Nakula, Sadewa, Arjuna, dan Bima. Yudhistira kehilangan saudara-saudaranya dalam empat ronde. Namun ia tidak berhenti, ia masih saja melanjutkan permainan setelah lima kali kalah beruntun. Kali ini yang ia pertaruhkan adalah dirinya sendiri. Dan lagi-lagi, ia kalah.

Kegilaan meja judi dapat menghilangkan kebijaksanaan setinggi apapun. Sebab begitu orang sudah memutuskan untuk mengundi nasib, ia telah membuang kebijaksanaan yang dimilikinya. Sebuah kebijaksanaan yang mengatakan bahwa masa depan tidak dapat dihadirkan dengan keberuntungan.

Ronde ketujuh, secara mengejutkan dan lepas dari persangkaan siapapun, Yudhistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya. Ia kalah. Rambut Drupadi dijambak. Ia diseret oleh Dursasana, adik Duryudana ke bailarung istana untuk ditelanjangi. Berkat bantuan Krisna, kain yang menutupi tubuh Drupadi tidak bisa habis saat ditarik Dursasana. Sampai-sampai kain itu bertumpuk setinggi bukit memenuhi bailarung. Dursasana kelelahan dan pingsan. Para tetua Hastinapura merasa malu menyaksikan kejadian ini. Bhisma, Durna dan Kripa menutupi muka dengan kedua tangan saking tidak tahan melihat peristiwa memalukan ini.

Di saat itu, ada seorang anak muda dari kalangan Kurawa bernama Wikarna yang membela Drupadi. Di saat para tetua diam, dengan lantang ia berkata bahwa Yudhistira mempetaruhkan Drupadi secara tidak sah. Menurutnya, Yudhistira telah kehilangan kebebasannya sejak ronde keenam sewaktu ia kalah ketika mempertaruhkan dirinya sendiri. Yudhistira telah menjadi budak milik Duryudana. Ia sudah tidak memiliki apa-apa untuk dipertaruhkan. 

Namun, anak muda seringkali tidak didengar pendapatnya meskipun itu benar. Hal itu nampaknya berlaku sampai sekarang.

Destarata yang semula mengijinkan permainan dadu tersebut, kini menjadi sedih. Ia menyuruh Pandawa dan Drupadi pulang ke Indraprasta dan membatalkan segala taruhan. Dengan rasa malu dan kecewa, Yudhistira pergi meninggalkan Hastinapura. Di tengah perjalanan Sengkuni menyusul Yudhistira dan mengajaknya bermain dadu sekali lagi. Tebak apa yang dilakukan Yudhistira? Ya, ia menerimanya. Lalu kalah.

Sejak saat itu karena kalah judi, Pandawa hidup dalam pengasingan selama 13 tahun. Hidup selama 12 tahun di hutan ditambah 1 tahun masa penyamaran. Inilah yang melatarbelakangi terjadinya Bharatayudha, perang saudara yang menewaskan hampir 10 juta jiwa di kedua belah pihak. Perang yang dimulai hanya karena kalah judi. Mungkin begawan Abyasa mengarang kisah dalam bab Sabhaparwa Mahabharata ini dengan pesan sederhana: jangan main judi.

Namun adakah yang lebih parah akibatnya daripada judi? Saya kira ada. Dalam permainan judi kita masih mungkin menang dan lawan masih dimungkinkan untuk kalah. Artinya, kedua belah pihak memiliki potensi untung dan rugi dengan probabilitas yang setara. Sengkuni masih mungkin kalah apabila Yudhistira lebih licik, misalnya. Yang celaka adalah ketika salah satu pihak pasti untung dan pihak lain pasti rugi. Jika ada, hal tersebut pastilah jauh lebih buruk daripada judi. Yang saya tahu, di dunia ini ada hal semacam itu. Kita biasa menyebutnya sebagai riba.

Riba tidak memungkinkan si pemakan riba rugi. Ia akan selalu untung. Di sisi lain dapat dipastikan pemberi riba akan selalu rugi. Judi dilarang bukan karena potensi untung-ruginya, sebab dalam jual beli juga ada potensi tersebut. Namun, judi dilarang karena ia menggantungkan nasib pada keberuntungan alias tak ada usaha. Tanpa bersusah payah.

Yang kedua, judi dilarang karena judi memungkinkan potensi rugi lebih besar daripada potensi untung. Hal ini tidak kita jumpai dalam jual beli. Dalam jual beli potensinya hanya ada 2: untung atau rugi. 50:50. Sedangkan dalam judi, potensi rugi dimungkinkan tidak sama dengan potensi untung seiring dengan bertambahnya jumlah pemain. Contohnya, jika pemainnya dua maka potensi menang-kalah adalah 50:50. Namun, jika kita tambahkan jumlah pemain menjadi 5 orang misalnya, potensi menang-kalah berubah menjadi 20:80. Artinya potensi kalahnya lebih besar dari potensi menangnya. Mudharat lebih besar dari manfaat. Dari contoh sederhana ini benarlah firman Allah swt. dalam surat Al-Baqarah 219:

Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang khamr dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. (Akan tetapi,) dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya.”

Kembali ke urusan riba. Sekarang mari kita perhatikan skema perbankan modern. Pertanyaan "Apakah perbankan menerapkan praktik riba?" dapat dijawab dengan mudah dengan menanyakan, "Apakah praktik perbankan modern pasti menguntungkan bank?" Jika jawabannya "Ya", berarti bank menerapkan praktik riba.

Kerugian bank hanya mungkin terjadi jika nasabah gagal bayar dalam melunasi hutangnya. Sedangkan sebelum mendapatkan hutang, nasabah diwajibkan memberikan jaminan berupa aset atas hutangnya. Jumlah hutang yang diberikan bank tidak mungkin diatas nilai aset yang dijaminkan. Artinya meskipun nasabah gagal bayar, bank tidak akan rugi. Sistem perbankan tidak memungkinkan adanya kerugian untuk bank dari transaksi utang-piutang. Untuk bank, hanya ada keuntungan.

Seringkali kita dengar bahwa justifikasi pembenaran bunga bank karena adanya inflasi. Misal, Sekarang harga emas 1 juta per gram sedangkan 10 tahun yang lalu harga emas adalah 300 ribu per gram. Jika 10 tahun yang lalu saya berhutang emas 1 gram atau 300 ribu maka secara wajar, saya tidak boleh melunasinya pada masa sekarang dengan uang 300 ribu. Saya harus melunasinya dengan uang 1 juta sebab harga emas per gram sekarang adalah 1 juta. Kita didoktrin bahwa kenaikan sebesar 700 ribu ini bukanlah riba karena harga dipengaruhi oleh inflasi. Sebagaimana wajar jika hutang dibebani bunga karena harga-harga mengalami kenaikan. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan inflasi atau kenaikan harga?

Inflasi hanya mungkin disebabkan karena satu hal yaitu scarcity atau kelangkaan. Makin langka suatu barang, makin mahal ia. Emas tidak mungkin mengalami inflasi sebab semakin kesini, emas semakin banyak ditambang. Artinya jumlah emas beredar semakin banyak. Emas semakin tidak langka. Lalu kenapa harganya naik? Hanya ada satu kemungkinan: adanya penimbun.

Saya memiliki teori bagaimana emas itu ditimbun. Dalam sejarahnya, uang kertas adalah bukti kepemilikan emas di bank. Uang kertas bertuliskan 100 ribu menunjukkan bahwa sang pemegang uang kertas memiliki emas di bank senilai 100 ribu. Nilai nominal sama dengan nilai riilnya. Penerbitan uang tanpa jaminan emas menyebabkan nilai nominal lebih tinggi dari nilai riil. Misal menerbitkan 2 lembar uang 100 ribu dengan jaminan emas yang hanya bernilai 100 ribu menyebabkan 1 lembar uang tersebut hanya bernilai riil 50 ribu meskipun yang tertera di nominalnya adalah 100 ribu. Inilah cara menimbun emas. Mencetak sertipikat tanah tanpa ada tanahnya menyebabkan ia dijuluki tuan tanah di dunia yang mengakui eksistensi tanah berdasarkan sertipikatnya. Mencetak uang tanpa underlying emas menyebabkan ia menjadi penimbun emas di dunia yang mengakui uang adalah alat pembayaran yang sah.

Sehingga barang dengan nilai riil 100 ribu yang dulu dapat dibeli dengan 1 lembar uang 100 ribu, kini hanya dapat dibeli dengan 2 lembar 100 ribu. Harga nominal yang semula 100 ribu naik menjadi 200 ribu meskipun nilai riil barangnya tidak berubah, tetap di 100 ribu. Inilah inflasi.

Inflasi muncul ketika uang beredar terlalu banyak alias uang dicetak dengan nilai nominal melebihi nilai riil emas yang menjadi jaminannya. Maka solusinya suku bunga bank dinaikkan. Orang akhirnya lebih tertarik menabung daripada belanja yang mengakibatkan permintaan terhadap barang turun dan harga normal kembali. Lalu suku bunga kembali diturunkan. Namun, solusi dari teori ini terlalu manis. Sebab, apa untungnya buat bank menurunkan suku bunga?

Yang terjadi sebenarnya adalah pemilik modal menahan uangnya, kebutuhan produsen akan modal meningkat dan karena itu pemilik modal menaikkan suku bunga. Ketika suku bunga naik, di titik tertentu, produsen akhirnya tidak mau memakai modal dari bank karena beban bunga yang terlalu tinggi samasekali tidak menguntungkan mereka, maka terjadilah penurunan upah dan pemecatan pekerja, akibatnya daya beli masyarakat turun. Bank melihat bahwa permintaan modal telah berhenti maka ia turunkan suku bunga. Produsen kembali memakai modal dari hutang dengan membayar bunga. Masyarakat yang miskin karena menganggur dapat bekerja kembali dalam kehidupan yang tenang sambil menunggu mereka dimiskinkan kembali dengan inflasi di periode berikutnya. 

Coba perhatikan, tidak ada gunanya pemilik modal dalam hal ini bank menurunkan suku bunga kecuali satu hal: menjaga sapi perahnya tetap hidup.

Justru menurut saya, yang menyebabkan inflasi adalah pemilik modal atau bank itu sendiri. Jadi mustahil inflasi diatasi dengan menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga memicu produsen untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan penjualan untuk menutup pembayaran interest rate yang tinggi. Namun, tidak mungkin penekanan biaya produksi (pemecatan pekerja atau pengurangan kinerja mesin produksi, misalnya) dapat meningkatkan penjualan. Satu-satunya cara meningkatkan penjualan adalah menaikkan harga jual. Setiap produsen pasti memikirkan cara supaya biaya produksi ditanggung konsumen. Termasuk biaya bunga bank. 

Akibatnya harga barang meroket. Semua itu terjadi karena kenaikan tingkat suku bunga bank. Sampai nanti tingkat suku bunga diturunkan kembali seiring dengan menurunnya produksi dan daya beli masyarakat. Produsen selamanya akan terkunci dalam lingkaran setan ini dan masyarakat umum akan tetap miskin. Siapa yang paling diuntungkan dan tidak mungkin rugi? Bank.

Selanjutnya mengapa saya berpendapat bahwa bunga bank atau riba inilah yang menyebabkan inflasi? Coba perhatikan bab awal tulisan ini yang membahas penimbun emas. Kesimpulan pembahasan saya tentang penimbun emas adalah inflasi terjadi karena emas ditimbun dengan cara uang dicetak tanpa jaminan emas. Lalu, apa hubungannya antara bunga bank atau riba dengan pencetakan uang tanpa jaminan emas?

Taruhlah di dunia ini bank mencetak uang sebesar 100 juta dengan jaminan emas senilai 100 juta milik Mr.X. Lalu uang itu anda pinjam dengan bunga 5%. Pokoknya sebesar 100 juta telah anda kembalikan ke bank. Sehingga di dunia ini, sudah tidak ada uang beredar. Pertanyaan saya, dengan apakah anda membayar yang 5%? Anda tidak dapat melakukannya bukan? Jika begitu 5% itu sebenarnya apa?

Yap. Dalam transaksi utang-piutang, bank menetapkan suku bunga sebesar 5% dari nilai emas. Nilai itu dibukukan dalam bentuk piutang (bunga) untuk sementara waktu namun pada akhirnya nanti harus dibayar dengan uang. Kesimpulannya, dengan menetapkan suku bunga, selama ini bank "mencetak uang" sendiri tanpa jaminan emas. Inilah sumber utama terjadinya inflasi yang merupakan segala sumber penderitaan ekonomi setiap negara. Selama masih ada bunga bank, bahan pokok murah? Mustahil. Harga BBM turun? Tidak akan. Rakyat akan sejahtera ? Mimpi. Sebab ada pemilik modal yang dalam transaksinya selalu dan pasti untung. Lalu, siapa yang dirugikan? Kita.

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

QS. Al-Baqarah : 275

Niat sesungguhnya bank konvensional mendirikan bank syariah juga memendam tanda tanya di benak saya. Logikanya begini, dengan mendirikan bank syariah, bank konvensional sesungguhnya mengakui bahwa praktik perbankannya selama ini tidak syar'i. Nah, secara wajar kalau manusia benar-benar ingin berlaku syar'i maka ia pasti akan meninggalkan perilaku yang tidak syar'i. Orang yang percaya bahwa memberi itu mulia pasti tidak akan mencuri. Jika orang memiliki niat tulus ingin bertobat, tidak mungkin tangan kanannya memberi sedangkan disaat yang sama tangan kirinya mencuri. Tapi bank konvensional tidak. Mereka membuka bank syariah, yang menurut mereka syar'i, sambil tetap mempertahankan yang tidak syar'i alias bank konvensional. Logikanya kalau niat mereka itu itu benar-benar mengakui bahwa bank syariah adalah bank yang benar menurut ketentuan Allah swt., mereka akan menutup yang konvensional. Nyatanya tidak.

Sungguh sulit menebak niat seorang penjual daging babi, yang setelah diberitahu bahwa babi itu haram, ia membuka toko yang menjual daging ayam tepat disebelah toko daging babi miliknya.

Terakhir? Apakah kesepakatan mudharabah (bagi hasil) maupun murabhahah (jual beli) dengan bank syariah itu memungkinkan bank untuk menelan kerugian? Jika tidak, itu sebenarnya adalah riba yang berjubah dan berpeci.

 (Akan tetapi,) pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu merupakan sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Allah agar mereka selalu ingat.

QS. Al-A‘raf : 26

Andaikan Sengkuni lebih licik, ia tidak akan mengajak Yudhistira bermain dadu. Ia akan mendirikan sebuah bank.


Related Posts