Buku adalah jendela ilmu. Bagi orang-orang yang mempercayai hal itu, termasuk saya, akhir-akhir ini cukup terganggu dengan sebuah pepatah: barangsiapa belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan. Terbesit di benak saya bahwa selama ini saya membaca tanpa didampingi guru, maka secara tidak langsung saya berguru kepada setan. Maka celakalah saya.
Saya anggap diri saya celaka karena sempitnya cara pandang saya saat itu. Buku saya sejajarkan dengan guru. Seolah-olah yang terjadi pada saya saat itu adalah saya belajar dari buku, bukan dari guru. Dan metode belajar semacam itu berpotensi sesat dan menyesatkan.
Akibatnya saya jadi takut membaca buku, apapun itu jenisnya. Sains, sejarah, novel-novel apalagi buku agama. Takutnya saya salah memahami. Ketakutan melebihi keingintahuan saya. Kepengecutan melampaui rasa penasaran saya. Maka apa yang terjadi? Halaman demi halaman saya tutup kembali, buku saya simpan di rak lemari dan jendela dunia itu terkunci lagi. Akhirnya, saya selamat. Dan jadi bodoh.
Saya bodoh sebab empat hal. Pertama, saya melupakan konteks. Pepatah "Barangsiapa belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan" tentu harus dimaknai secara kontekstual. Artinya, dalam belajar apapun, khususnya masalah agama, tidak boleh hanya berasal dari angan-angan, asumsi maupun anggapan. Wajib ada sumbernya sehingga ilmu-ilmu tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Tentu pengertian sumber disini adalah guru yang kredibel keilmuannya. Khusus ilmu agama, yang jelas sanadnya.
Kedua, begitu mendengar pepatah tersebut, bagi saya yang sedang dan senang membaca, yang seharusnya saya lakukan adalah mencari guru, bukan menutup buku.
Ketiga, asumsi awal saya salah. Ketika membaca, saya selalu menganggap sedang belajar "dari" buku. Padahal sebenarnya yang saya lakukan adalah belajar "melalui" buku. Buku itu seperti halnya internet, tv dan radio. Atau yang lebih sederhana, buku itu seperti udara sebagai media penghantar suara. Ia hanyalah media komunikasi, bukan sumber. Sepanjang penulis bukunya adalah seseorang yang ilmunya kredibel, maka sebenarnya saya sedang belajar dari guru, melalui buku. Bukan belajar dari buku.
Keempat, andaikan membaca buku tanpa guru itu dilarang, lalu apa gunanya para ilmuwan dan sejarawan menulis buku? para ulama menulis kitab? Tentu idealnya membaca buku maupun kitab itu didampingi seorang guru. Namun, bukan berarti membaca tanpa guru itu dilarang.
Yang paling sempurna adalah membaca dengan guru. Yang kurang sempurna adalah membaca tanpa guru. Yang buruk adalah tidak membaca sama sekali. Dan yang paling buruk adalah sedikit membaca dan berani menghakimi tanpa ilmu.
Maka bagi para pembaca buku, tugas kita adalah tetap membaca buku sambil mencari guru. Selektif dalam memilih apa yang dibaca berdasarkan kredibilitas penulisnya adalah salah satu cara berguru juga. Seringkali karena keterbatasan waktu dan biaya, kita tidak dimungkinkan untuk berguru secara intensif ala pesantren. Maka bergurulah kita sebisanya. Boleh via internet, tv, radio dan juga buku. Semampunya. Jangan sama sekali tidak berguru.
Selain itu, janganlah takut salah paham terhadap suatu ide. Tidak masuk akal orang tersesat gara-gara banyak baca buku. Mana ada orang jadi kafir karena banyak-banyak membaca Al-Quran?
Bacalah, usahakan tiap-tiap buku dibaca sampai tuntas. Ilmu yang setengah-setengah menjadikan pemahaman tidak sempurna. Pemahaman yang tidak sempurna membawa kesesatan. Itu hanya akan terjadi kalau kita berhenti belajar. Maka jangan pernah berhenti. Ulangi, perdalam dan luaskan referensi. Orang-orang tersesat sebab tak mau menerima petunjuk, petunjuk yang diterima pun tak ada gunanya kalau orang tak mau membaca.
Terakhir, tetaplah rendah hati. Yang kita ketahui itu tidaklah seberapa banyak jika dibandingkan dengan seluruh pengetahuan yang dikumpulkan manusia selama berabad-abad lamanya. Sedangkan seluruh pengetahuan itu masih tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa-apa yang tidak kita ketahui.
Khusus ilmu agama, engkau boleh berpendapat ini dan itu, tapi jangan sekali-kali menetapkan hukum diantara sesamamu kalau ilmumu tentang perkara yang diperselisihkan itu didapat bukan dari guru, meskipun itu benar. Sebab ilmumu itu tidak ada yang menguji dan pemahamanmu atasnya belum ada yang memastikan.
Seperti kisah Ekalaya. Akisah seorang ksatria bernama Ekalaya, pangeran kerajaan Paranggelung, berhasrat untuk menguasai ilmu memanah
yang bernama Danuweda. Hanya satu orang yang memiliki ajian ini yaitu
Resi Dorna dari Hastinapura. Tetapi Resi Dorna telah berjanji bahwa dia
tidak akan mengajar kepada orang lain kecuali Pandawa dan Kurawa. Ketika Ekalaya datang memohon berguru kepada Resi Dorna, iapun
ditolak. Walaupun kecewa, Ekalaya tidak menyerah. Ia pulang ke Paranggelung dan
membuat patung Resi Dorna dari tanah liat dan berguru ilmu panah kepada patung itu. Dengan
tekunnya Ekalaya seolah-olah berguru langsung kepada Drona. Sehingga berkat ketekunan yang luar biasa, iapun akhirnya menguasai ajian Danuweda.
Suatu ketika, para Kurawa dan
Pandawa sedang berburu dan mereka melihat seekor babi hutan yang mati dengan mulut penuh anak panah. Tapi anak panah itu tidak
dilepaskan satu per satu melainkan sekaligus, yang merupakan ciri khas
dari ajian Danuweda. Pandawa dan Kurawa menjadi bingung dan mencari
ksatria yang memanah babi hutan tersebut.
Setelah melakukan pencarian, mereka bertemu
dengan Ekalaya dan oleh Arjuna ditanyakan dia berguru memanah kepada siapa. Ekalaya menjawab: Resi Dorna. Terkejut oleh jawaban Ekalaya, Arjuna membawa babi hutan itu kehadapan gurunya, resi Dorna
untuk meminta penjelasan mengapa sang resi telah mengajarkan ilmu itu
kepada orang lain yang bukan putra Hastina. Kala itu hanya dua
orang yang mampu menguasai ajian ini, Arjuna dan Karna.
Resi Dornapun terkejut ketika melihat bahwa ada orang lain yang
menguasai ajian Danuweda tanpa sepengetahuannya. Sang resi meminta Arjuna untuk menunjukkan tempat ksatria tersebut.
Ekalaya sangat gembira ketika melihat gurunya datang. Resi
Dorna bertanya mengapa Ekalaya bisa menguasai
ajian Danuweda tanpa diajari olehnya. Ekalaya pun
menunjukkan patung Resi Dorna yang dibuatnya dan menjelaskan bahwa dia
berlatih memanah setiap saat dibawah pengawasan patung tersebut. Ia belajar ajian Danuweda tanpa guru.
Karena takut kalau Ekalaya akan menjadi pemanah terbaik di dunia dan menyaingi murid kesayangannya, Arjuna, terbesit sebuah
rencana di hati Resi Dorna untuk melemahkan Ekalaya. Resi Dorna hanya akan mengakui kehebatan Ekalaya dengan sebuah syarat berupa gurudakshina: Ekalaya harus mempersembahkan ibu jari tangan kanannya. Ekalaya sangat gembira mendegar hal ini dan memotong ibu jarinya tanpa pikir panjang. Maka pupus sudah peluang Ekalaya untuk menjadi pemanah terbaik di dunia. Setelah dipotong, jari tersebut dipersembahkan kepada Resi Dorna. Atas pengorbanannya Resi Dorna mempersaudarakan Ekalaya dan Arjuna, dan memberinya gelar Palgunadi, mirip dengan gelar Arjuna yaitu Palguna.
Tanpa adanya seorang guru, mungkin kita tetap bisa menjadi Ekalaya yang menguasai Danuweda tetapi kita tidak akan pernah menjadi pemanah terbaik di dunia. Tanpa bimbingan seorang guru, kita akan sering ditipu oleh akal kita sendiri sebagaimana Ekalaya tertipu ketika bersedia memotong ibu jarinya. Tanpa guru, meskipun sungguh-sungguh berusaha, kita hanya akan menjadi Palgunadi, pemanah nomor dua setelah Palguna.