Unexamined life is not worth living. Hidup yang tak dikaji (ulang) adalah hidup yang tidak layak dijalani, kurang lebih begitu kata Socrates, sang 'Bapak para Filsuf'. Kalimat ini mengajak kita untuk mempertanyakan kembali hidup yang telah kita jalani, beserta keputusan-keputusan—yang seringkali keliru itu— yang pernah kita ambil. Kata-kata Socrates ini sekaligus memicu kita untuk mendobrak dan merekonstruksi kembali (rethink and reshape) kehidupan selama ini yang menurut kita telah 'mapan'. Keharusan proses pengkajian ulang ini tidak hanya berlaku untuk kehidupan individu, tetapi juga berlaku bagi kehidupan sebuah negara.
Mari kita ambil contoh, pernahkan terbesit dalam benak kita pertanyaan: "Mengapa Badan Usaha Milik Negara berada di bawah Kementerian BUMN, padahal kementerian adalah lembaga pemerintah bukan lembaga negara? Dan mengapa badan-badan strategis itu berbentuk perseoan, bukan yang lain?". Pertanyaan-pertanyaan semacam ini memerlukan sebuah jawaban yang memuaskan. Dan kita sudah terlalu lelah berharap negara, atau setidaknya pemerintah, akan atau paling tidak berniat untuk memberikan jawabannya.
Jadi mari kita kaji ulang sendiri. Sedapat-dapatnya, mengingat kita ini cuma rakyat biasa yang tentu tidak selevel jika dibandingkan dengan mereka-mereka yang cendekiawan, doktor, profesor dan berjubel gelar lain yang tidak akan muat disebut satu persatu, bahkan sampai tulisan ini selesai.
Masuk pada pertanyaan: "Mengapa Badan Usaha Milik Negara berada di bawah Kementerian BUMN, padahal kementerian adalah lembaga pemerintah bukan lembaga negara?" Saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Karena tujuan pertanyaan tersebut sejak awal, berdasarkan petuah bijak Socrates, bukanlah untuk dijawab melainkan untuk memicu kita melakukan kajian ulang terhadap pola berpikir kita yang terlanjur 'mapan' itu.
Sekarang coba kita definisikan apa itu negara dan apa itu pemerintah. Maka kita akan berkesimpulan bahwa pemerintah itu bukanlah negara, ia hanyalah bagian dari negara disamping rakyat dan wilayah. Konvensi Montevideo di Uruguay, 26 Desember 1933, yang diprakarsai Amerika Serikat dan negara bagiannya menguatkan pendapat saya ini, bahwa syarat negara adalah adanya : rakyat, wilayah dan pemerintah.
Perlu bukti lagi? Di Indonesia dikenal adanya istilah kepala negara dan kepala pemerintahan. Hal ini menjadi bukti bahwa negara dan pemerintah adalah dua entitas yang berbeda. Maka tidak selayaknya dua jabatan tersebut diduduki oleh satu orang. Di Indonesia juga dikenal istilah lembaga negara dan lembaga pemerintah yang semakin memperlihatkan perbedaan yang begitu mencolok antara keduanya.
Secara sederhana, diibaratkan negara itu adalah rakyat yang memiliki suatu wilayah yang membayar buruh untuk mengelola wilayah tersebut demi kemakmuran rakyat itu sendiri. Nah, buruh rakyat itu bernama pemerintah. Tentu untuk memudahkan tata kelola, para buruh harus memiliki mandor. Mandor itu adalah kepala pemerintahan/perdana menteri yang mengkoordinasi kerja dari seluruh buruh/menteri-menteri. Lalu diperlukan kepala negara, sebagai tuan rumah yang merupakan representasi dari rakyat itu sendiri—maka dari itu kepala negara harus dipilih oleh lembaga tertinggi negara alias MPR seperti sebelum amandemen UUD 1945 keempat— sebagai tempat dimana mandor mempertanggungjawabkan hasil kerjanya.
Sayangnya, di Indonesia jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan dirangkap oleh satu orang saja: presiden. Artinya tuan rumah sendirilah yang turun tangan menjadi mandor. Potensi fraud terbuka lebar disini, sebab mandor mempertanggungjawabkan hasil kerjanya kepada dirinya sendiri. Kinerja presiden sebagai kepala pemerintah yang selalu baik-baik saja diapresiasi dan diamini oleh presiden sendiri sebagai kepala negara. Ibarat seseorang yang mengalungkan karangan bunga bertuliskan 'selamat dan sukses' ke lehernya sendiri.
Hal tersebut dapat dimaklumi jika kondisi negara sedang darurat pemerintahan. Seperti pada awal masa kemerdekaan. Atau seperti halnya pajak yang hukumnya boleh asal kondisi keuangan negara sedang darurat, sedang dilanda kelaparan, bencana atau perang. Tetapi masa iya, sudah merdeka 78 tahun masih darurat terus?
Kembali ke masalah BUMN. Merujuk pada Pasal 33 ayat (2) UUD 1945: "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: "Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Maka berdasarkan uraian di atas BUMN seharusnya merupakan bagian dari lembaga negara, badan tersendiri setara dengan Badan Pemeriksa Keuangan, bukan badan di bawah kementerian yang notabene adalah lembaga pemerintah. Dari namanya saja sudah jelas: Badan Usaha Milik Negara.
Maka dapat disimpulkan penempatan BUMN di bawah kementerian adalah suatu hal yang keliru.
Pertanyaan kedua, "mengapa badan-badan strategis itu berbentuk perseoan, bukan yang lain?" harus dilihat dari pasal induknya tentang perekonomian negara yaitu pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan." Maka hal ini akan melahirkan pertanyaan lanjutan: Kalau begitu bentuk badan usaha apa yang asasnya, baik secara formal maupun riil, adalah kekeluargaan? Jawabnya adalah koperasi.
Jika kita lihat UU No 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian disebutkan dalam pasal 3 bahwa Koperasi Indonesia berdasarkan atas asas kekeluargaan. Hal ini ditekankan kembali di pasal 5 yang menyatakan bahwa asas Koperasi Indonesia adalah kekeluargaan dan kegotong-royongan. Maka dari itu, saya dengan cukup percaya diri menyatakan bahwa perekonomian sebagaimana yang diamanahkan dalam rumusan pasal 33 ayat (1) UUD seharusnya dijalankan melalui sistem koperasi, bukan perseroan.
Kesimpulan saya ini sekaligus menegasi pengertian dari BUMN itu sendiri yang menyatakan bahwa BUMN adalah badan
usaha yang seluruh atau SEBAGIAN BESAR modalnya dimiliki oleh negara
melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara
yang dipisahkan. Dengan koperasi, kata 'sebagian besar' itu dihilangkan. BUMN itu seluruhnya milik rakyat Indonesia. BUMN itu milik seluruh rakyat Indonesia. Orang bodoh dengan bahasa macam apa yang mengatakan: "Oke, saya punya istri. Tapi 49% nya milik orang lain. Saya memiliki hanya 51%. Tapi tenang saja, sebagian besar istri saya itu milik saya." Yang namanya milik ya semua. Dan saya rasa, pemerintah sudah saatnya berhenti bermain pelintir kata dan makna kalimat semacam ini.
Kesimpulan kedua, seharusnya BUMN berbentuk koperasi bukan perseroan. Pembetukan BUMN dengan badan hukum perseroan tidak pas jika dimaknai dengan diskripsi perekonomian yang dicita-citakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945.
Sekarang mari kita berimajinasi apa yang akan terjadi jika BUMN benar-benar berada di tangan negara melalui sistem koperasi. Pertama, partisipasi aktif masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur akan naik, bahkan sangat mungkin dalam hal investasi dan pembiayaan. Sebab imbal hasilnya jelas dengan hitungan yang jelas juga. Kedua, lahirnya lagi spirit berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) yang memunculkan rasa percaya diri terhadap pencapaian bangsa kita sendiri melalui gotong-royong dan rasa memiliki (sense of belonging) yang tinggi terhadap aset negara yang pada akhirnya secara bertahap dapat memusnahkan rasa inferioritas complex terhadap bangsa asing. Ketiga, hilangnya atau paling tidak berkurangnya berbagai macam jenis pajak. Sebab pajak yang semula 22% dari keuntungan BUMN untuk negara, sekarang melalui koperasi 100% keuntungannya untuk negara, baik didistribusikan melalui APBN ataupun secara langsung lewat pembagian SHU. Pun koperasi, karena tujuan awalnya adalah untuk kemakmuran rakyat dapat memangkas berbagai tahap rantai distribusi barang sehingga harga barang relatif lebih murah.
Begitu nyata dampak yang dihasilkan. Selain itu tentu masih banyak lagi manfaat apabila terjadi perubahan kiblat perekonomian Indonesia, dari korporasi ala Barat menjadi koperasi khas Timur. Bagi yang protes bahwa ide ini adalah ide yang buruk, dangkal dan konyol, silakan protes pada Hatta. Saya hanya meneruskan pesan. Untuk sesekali mempertanyakan kembali. Untuk sesaat menggugat rasa 'mapan' yang selama ini kita pertahankan kuat-kuat. Sebab, berapa banyak orang yang terbaring sakit-sakitan, di dalam kamar yang mewah menawan, di atas dipan yang sangat nyaman?