Dunia ini diatur oleh dua hukum. Yang satu adalah hukum Allah yang bersifat mutlak-pasti sedangkan yang satunya adalah hukum manusia yang bersifat relatif-nisbi. Namun pada dasarnya secara substantif semua hukum adalah mutlak kepunyaan Allah. Termasuk kenisbian hukum manusia itu sendiri. Hukum buatan manusia itu sudah ditetapkan kemutlakannya, yaitu mutlak bahwa hukum manusia itu nisbi. Maka, tidak perlu dipertentangkan seolah-olah keduanya adalah dikotomi. Sebab, hukum manusia yang relatif itu seringkali hanyalah upaya manusia untuk mengijtihadi hukum yang mutlak.
Contohnya, hukum yang menyatakan: wajib menghormati orangtua. Ini adalah salah satu hukum yang bersifat mutlak. Bagaimana cara menghormatinya adalah persoalan ijtihad hukum manusia. Ada yang mencium tangan, ada yang menunduk ketika berjalan melewati keduanya, ada yang mencuci kaki ibunya, dan ada yang tidak melakukan ketiganya tapi selalu mendoakan tiap malam.
Begitu juga yang terjadi dalam hal lain.
Kepemimpinan misalnya. Yang mutlak harus dimiliki seorang pemimpin adalah sifat amanah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menambahkan kriteria lain: kompetensi. Orang-orang lain menambahkan kriteria lain pula: tanggung jawab, cerdas, dewasa, jujur dan lain-lain. Orang Indonesia mengijtihadi "dewasa" dengan cara menetapkan batasan usia. 40 tahun untuk calon presiden atau wakil presiden dan 30 tahun untuk gubernur atau wakil gubernur.
Lalu sekarang hukum itu diijtihadi ulang dengan mengubah batasan usia calon presiden atau wakil presiden menjadi 35 tahun. Sedangkan untuk gubernur batasan umurnya masih sama namun terdapat perbedaan klausa. Jika sebelumnya usia 30 tahun itu dihitung pada saat calon ditetapkan, sekarang usia 30 tahun dihitung pada saat calon terpilih tersebut dilantik. Jika konteksnya murni ijtihad untuk maslahat, kemanfaatan semata, khususnya membuka peluang untuk kaum muda maka itu tidaklah mengapa. Maka batasan usia tidaklah terlalu menjadi soal. Bahkan imam Syafi'i menjadi seorang mufti saat beliau baru berusia 15 tahun.
Namun, percakapan tidak boleh berhenti hanya sampai disini. Bagaimana cara kita menentukan ijtihad tersebut memang benar-benar didasari oleh asas kemanfaatan semata? Bagaimana kita tahu bahwa dibalik tirai ijtihad itu tidak ada kepentingan-kepentingan? Jawabnya satu, kita tidak tahu.
Maka kunci utama menanggapi kasus diatas adalah sangka baik. Husnudzon. Sebagai rakyat kita harus bersangka baik terhadap pemerintah. Kita tidak bisa hidup dalam masyarakat dengan rasa saling curiga.
Kita harus bersangka baik kalau isu presiden 3 periode itu tidak mungkin diusulkan presiden aktif untuk memperpanjang jabatannya. Pasti itu diusulkan oleh presiden aktif untuk presiden berikutnya. Kebetulan wakil presiden berikutnya adalah anak pertamanya. Hal itu adalah kebetulan semata.
Kita harus bersangka baik kalau batas usia presiden dan wakil presiden menjadi 35 tahun itu adalah untuk membuka peluang bagi kaum muda. Qadarullah anak pertamanya berusia 35 tahun dan mencalonkan diri menjadi wakil presiden. Hal itu tentu takdir semata.
Kita senantiasa harus berprasangka baik bahwa perubahan klausa "usia 30 tahun saat ditetapkan" menjadi "usia 30 tahun saat dilantik" sebagai syarat usia gubernur atau wakil gubernur adalah upaya sungguh-sungguh agar pemuda berusia 29 tahun dapat mencalonkan diri. Dan kita wajib ber-husnudzon bahwa usia anak keduanya yang 29 tahun adalah perkara accidental. Dan kok ya ndilalah pas pula anak keduanya mencalonkan diri menjadi wakil gubernur.
Kita bersangka baik bahwa kebetulan semacam itu tidak akan terjadi dalam 100.000 tahun dan tidak mungkin karena disengaja.
Susah bukan bersangka baik itu? Maka kita selayaknya memang perlu berjuang. Berjuang untuk selalu bersangka baik. Berjuang untuk selalu memercayai pemimpin. Berjuang untuk mendapatkan segalanya dengan cara apa saja, walaupun menghinakan. Berjuang untuk mengingkari akal sehat dan hati nurani kita sendiri. Sebab tidak pernah ada perjuangan yang gampang-gampang saja.
Hingga akhirnya kita sampai pada suatu maqam husnudzon yang jika jam 2 malam ada orang bertopeng membawa clurit yang mengendap-endap memasuki rumah kita, kita akan bersangka baik bahwa itu bukan maling. Tidak mungkin maling. Beliau hanyalah orang yang salah masuk rumah. Kita bersangka baik beliau memakai topeng karena takut digigit nyamuk dan berhusnudzon bahwa clurit dibawa karena beliau adalah seorang pencari rumput yang tersesat.
Jika akal kita sudah mentok tidak dapat menerimanya, maka kita berhusnudzon saja bahwa peristiwa semacam itu adalah sejenis mukzijat zaman modern. Atau sihir yang sangat nyata?