Diskripsi Blog

...mintalah bantuan kepada tangan kananmu. Dan lelaki itu membuat tulisan dengan tangannya.

Laa Ubali




Buku "The Subtle Art of Not Giving a F*ck" yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi "Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat" menjadi salah satu buku motivasi terlaris dalam 5 tahun terakhir. Buku bersampul oranye karangan Mark Manson ini begitu memikat. Bagaimana tidak? Buku ini diluncurkan tepat pada zaman ketika anak-anak muda begitu 'bodo amat' dengan apa yang terjadi di lingkungan mereka. Dan kebodoamatan mereka itu perlu sebuah legitimasi.

Seperti salah satu cerita dalam buku tersebut. Charles Bukowski adalah seorang penjudi, pemain perempuan, pemabuk dan hobi berhutang. Ia habiskan 30 tahun hidupnya untuk melakukan kebiasaannya tersebut. Di saat yang sama, selama 30 tahun itu ia menulis. Tentu tema tulisannya tidak jauh-jauh dari judi, seks bebas, dan alkohol. Tema yang bagi sebagian besar orang sungguh tak menarik.

Namun, pada suatu hari, seeorang editor koran yang memiliki 'selera unik' melirik tulisan-tulisannya. Tumpukan tulisan Bukowski diterbitkan. Akhirnya ia menjadi terkenal. Bahkan di usia 50 tahun, ia sempat ditunjuk menjadi kepala redaksi surat kabar ternama.

Bukowski tetaplah Bukowski. Ketenaran dan segala yang Tuhan limpahkan kepadanya tidak serta merta membuatnya jadi pribadi yang lebih baik. Ia tetap melanjutkan kebiasaan lamanya. Ia tetap menjadi seorang yang kasar, penjudi, pemain perempuan dan tukang hutang sampai akhir hayatnya. Itulah cara Mark Manson mengungkapkan 'Seni Bersikap Bodo Amat'nya. 

Secara garis besar ada 3 seni yang ingin diajukan Manson:

Seni#1: Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh, masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda.

 Seni#2: Untuk bisa mengatakan “bodo amat" pada kesulitan, pertama-tama Anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan.

Seni#3: Entah Anda sadari atau tidak, Anda selalu memlih suatu hal untuk diperhatikan. 

Adegan demi adegan tentang Bukowski itu justru melemahkan argumen Manson sejak dari seni pertama "Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh; masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda." Mengapa Manson dapat berkata demikian setelah ia memaparkan sikap yang jelas-jelas acuh tak acuh pada karakter tokoh Bukowski? Apakah mabuk-mabukan, main perempuan dan sifat kasarnya Bukowski itu semata-mata karena ia nyaman saat menjadi berbeda?

Teori yang coba diutarakan Manson dalam bukunya justru tidak linier dengan contoh yang diberikannya. 

"Untuk bisa mengatakan “bodo amat” pada kesulitan. Pertama-tama Anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan." Seni kedua ini saya lebih setuju, bahwa di balik kesulitan ada sesuatu yang membuat segala kesulitan itu memang layak dijalani. Sesuatu itu datang bersama kesulitan, bukan datang setelah kesulitan seperti yang banyak, kalau bukan semua, orang pahami. Di Al-Qur'an sendiri menyebutkan dengan redaksi fainna ma'al usri yusra, ma'al bukan ba'dal. Bersama bukan setelah.

Dan seni terakhir "Entah Anda sadari atau tidak, Anda selalu memlih suatu hal untuk diperhatikan." adalah tentang prioritas hidup. Apa prioritas hidupmu? Apakah kekayaan, jabatan, atau kesuksesan? Ataukah hal-hal yang lebih substantif seperti dari mana kekayaan dan jabatan itu saya peroleh? Ke mana saya belanjakan kekayaan dan untuk apa saya gunakan jabatan saya itu? Atau pentingkah sukses itu, bagaimana dengan perjuangannya? Lebih bernilai mana antara sukses atau perjuangan untuk sukses?

Tidak mungkin kita mengerti prioritas kalau tidak kita temukan lebih dulu tujuan hidup kita. Skala prioritas hidup bergantung pada apa yang menjadi tujuan hidup kita. Lebih prioritas mana, latihan renang atau jogging? Jawabnya tergantung siapa yang menjawab. Bagi yang tujuannya ingin jadi atlet renang, yang prioritas pasti latihan renang. Bagi calon atlet lari pasti jogging.

Jika disederhanakan, 3 seni dari Mark Manson adalah nyaman saat berbeda, cuek terhadap kondisi sulit dan memprioritaskan yang penting. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat. Buku bestseller yang terjual 4 juta kopi dalam seminggu itu, dapat terangkum dalam satu wirid khas Maiyah: laa ubali.

Ketika ajarannya ditolak oleh penduduk Thaif dengan dilempari kotoran unta dan batu sehingga kaki beliau berdarah, di puncak kesedihannya Rasulullah Muhammad saw. berdoa dengan sebuah kalimat indah "In lam yakun bika alayya ghodlobun falaa ubali". Asal Engkau, Wahai Tuhanku, tidak marah kepadaku. Maka aku tak peduli. 

Mau apapun kondisiku, mau dilempari batu, kotoran unta, dan dihinakan manusia. Mau miskin, ditipu terus menerus, dan diinjak-injak penguasa.

Laa Ubali. Aku tak peduli. Gak pathéken. Ga ngurus. Cuek. Masa bodoh. I don't care. Bodo amat terhadap semua yang menimpaku asal satu prioritasku yaitu Engkau tidak marah kepadaku. Ini adalah wujud seni tertinggi untuk bersikap bodo amat melebihi bodo amatnya Mark Manson. 

Tidak masalah 1000 orang jahat kepadaku asal aku baik kepada mereka sebagaimana Engkau baik kepadaku. Sebab jika aku marah kepada mereka, Engkau juga akan marah kepadaku. Dan siapa di dunia ini, dari seluruh makhluk, binatang, jin, manusia, para ulama bahkan nabi-nabi dan malaikat, yang sanggup menanggung dan menghadapi murka-Mu?

Itu yang membedakan kualitas seorang Muhammad saw. dengan manusia lain sehingga beliau tetap nyaman saat berbeda, cuek terhadap kondisi sesulit apapun dan selalu memprioritaskan apa yang benar-benar penting di sepanjang riwayat hidupnya.

Andaikan Manson tahu kisah ini, ia tidak akan mengangkat karakter Charles Bukowski menjadi tokoh utama dalam bukunya. Dan misalkan Manson mengerti ini, mungkin judul bukunya adalah "Sebuah Seni Untuk Bersikap Laa Ubali".

Related Posts