Saya ingin sekali bertanya pada politikus yang mengejar untuk menyandang gelar guru besar, selama ini engkau menggurui aku apa dan di mana letak kebesaran bagi orang yang masih mengejar gelar?
Teori memang selayaknya butuh aplikasi. Tidak heran jika politikus kita pada zaman awal kemerdekaan didominasi oleh kalangan akademisi. Saat itu, tumpukan teori tentang negara dan pemerintahan menemukan jalannya untuk diterapkan. Hal itu berjalan sampai dengan orde baru.
Lalu kita dirasuki demokrasi ala reformasi, dimana politisi tidak harus akademisi. Tidak harus orang yang punya teori. Tidak mesti orang yang punya tujuan negara ini mau dibawa ke mana tapi boleh siapa saja. Maling pun boleh, asal selama ini tidak ketahuan dan dipilih banyak orang.
Namun pada akhirnya, bau bangkai akhirnya tercium juga. Politisi cap tong kosong itu mulai mengeluarkan bunyi-bunyian yang terlalu nyaring tapi samasekali tidak ada merdu-merdunya. Sebagian lagi menyanyi-menjanjikan kidung siren yang meski merdu, namun mematikan. Di lihat dari jauh bagaikan putri duyung yang cantik jelita hingga rakyat -para pelaut muda yang minim pengalaman ini- terlena dibuatnya dan ditenggelamkan ke palung-palung terdalam.
Ketika saat itu tiba, ketika kepercayaan rakyat mulai turun, maka mereka mulai mencari cara lain. Salah satunya adalah mengejar gelar akademis. Agar suara bising mereka dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Agar nyanyian mereka dianggap scientific, berdasar bukti empirik, dan tidak menyalahi hukum alam. Bahwa segala yang mereka katakan adalah berdasarkan ilmu pengetahuan.
Itulah perbedaan Indonesia dulu dan sekarang. Dulu, akademisi menjadi politisi untuk mempraktikkan teorinya. Sedangkan sekarang politisi jadi akademisi untuk membuat teori yang menjustifikasi kelakuan-keakuannya.
Siapa yang tidak ingin menjadi seperti Mahfud MD? Gelar "Prof.", "Dr." yang disandang di depan namanya benar-benar menunjukkan kualitasnya sebagai seorang akademisi sejati yang pendapatnya argumentatif dan rasional. Dengan pengalaman luas di bidang eksekutif, yudikatif dan legislatif membuatnya begitu disegani di dunia pemerintahan.
Lalu para politisi cap tong kosong mulai menginginkan kemahsyuran dan kehormatan yang sama. Agar kepentingannya dianggap argumentatif dan ambisinya dinilai rasional. Maka mulailah era perburuan gelar "Prof.", "Dr.", "MBA", sekalian guru besar. Mungkin politisi kelas ini juga akan mengejar gelar "Nabi" andaikan nabi Muhammad Saw. tidak menegaskan bahwa beliau adalah khatamul anbiya, penutup para nabi. Dan rasa-rasanya saya pun curiga, mereka akan mengambil juga gelar "Maha Besar" andaikan di dunia ini tidak ada Tuhan.